Blusukan Ala Diplomat Amerika, Stanley Harsha: Interviu Eksklusif oleh Kompasianer [Bagian 3 – Tamat]

Bukan hanya karena kebetulan Stanley Harsha kenal sama Presiden Jokowi sejak tahun 2007, maka dia menulis tentang Presiden RI. Stanley membandingkan ‘Tukang Mebel’ dari Solo dengan ‘Anak Menteng’ Obama.  Mari kita simak kutipan dari buku Seperti Bulan dan Matahari, Indonesia dalam Catatan Seorang Diplomat Amerika.

Hal. 32: Diskriminasi di Amerika semakin berkurang. Kenyataan bahwa Obama terpilih sebagai Presiden bukan hanya merupakan tonggak sejarah Amerika dalam mengatasi rasisme, tetapi juga mengungkap adanya kesenjangan kebudayaan. Banyak lawan tidak menyukai Obama karena ia seorang liberalis. Sebagian tidak menyukainya hanya karena ia berkulit hitam. Mereka banyak menggunakan kebohongan berdasarkan prasangka dengan mengatakan bahwa ia seorang Muslim yang lahir di Afrika, yang dengan diam-diam berkonspirasi ingin mengubah Amerika Serikat menjadi sebuah negara yang didominasi oleh pengaruh asing Muslim.”

Hal. 33:“Sayangnya, Obama menghadapi banyak perlawanan dari anggota DPR AS yang bertekad  menolak setiap programnya hanya untuk menjadikan Obama sebagai presiden gagal. Walau demikian, saya percaya bahwa sejarah akan menilai Obama sebagai seorang pemimpin yang bertekad untuk mengubah masyarakat di Amerika Serikat agar menjadi lebih adil, tidak berpihak, dan bersikap toleran.

(Bersama anak-anak madrasah Ibtidaiyah di masjid Alfalah Jalan Murni, Kelurahan Tanjung Rejo, Kecamatan Medan Sunggal, usai berbuka puasa dan sholat maghrib. |Foto: Berita Sore/Hj Laswiyati Wakid.)

Hal. 34: “Seperti Obama, Jokowi (Presiden RI) menawarkan kebijakan pendidikan yang dapat dicapai semua orang untuk menutup kesenjangan di antara yang kaya dan yang miskin. […] Jokowi juga menghadapi tantangan kuat baik dari gabungan partai oposisi di DPR maupun dari partai-partai koalisinya sendiri, yang menolak perubahan. Tentu saja impian Jokowi untuk Indonesia, lebih jauh jangkauannya dibandingkan dengan Obama. Dengan adanya fakta-fakta keadaan sosial Indonesia dan perkembangan politik  hingga saat ini, tantangan yang dihadapinya jauh lebih berat.”

Membaca buku diplomat yang mendapat banyak penghargaan ini,Kompasianer (baca: saya) berkesimpulan bahwa Stanley blusukan sampai jauh, mendalam, dan menembus tembok budaya, tembok praduga yang berdasarkan kurang pengetahuan atau pemahaman antar budaya Indonesia-Amerika, Muslim-Non Muslim dan sebaliknya. Sebagai diplomat, penghargaan dalam berkariernya membuktikan kapasitasnya blusukan lintas negara, benua, budaya, dan lintas sektor kehidupan.

“Saya dari Colorado, tapi isteri saya dari Indonesia. Sudah 27 tahun kami bersama-sama tinggal berpindah-pindah, di Indonesia, Malaysia, Taiwan, Tiongkok, dan Afrika.”  (Seperti Bulan dan Matahari, Indonesia dalam Catatan Seorang Diplomat Amerika , hal. 14)

“Jika kurang senang dengan sesuatu atau seseorang, isteri saya akan memberi isyarat yang halus, mengerutkan alis matanya sedikit, atau menyentuh lengan saya, meminta diam. Kalau seseorang bersikap kurang sopan terhadapnya, cukup baginya untuk menegakkan punggungnya sebagai tanda kepada orang tersebut untuk mundur — seorang Jawa biasanya akan mengerti teguran tersebut.” (hal. 46)

Dari aspek kehidupan pribadi, Stanley Harsa membuktikan bahwa blusukan itu sangat luas dan dalam maknanya, jauh lebih luas dari sekadar cara mencari tahu lebih banyak suatu akar persoalan, akar pemahaman, dan apa yang tidak selalu tampak tertulis atau terucapkan. Blusukan itu membuat dua hati bertaut dan menyatu sampai selamanya – apa lagi kalau bukan blusukan ke hati sang putri Solo, belahan jiwa – dan semakin kokoh dengan kehadiran kedua anak-anak yang menjadi anak-anak generasi Third World Kid.

Mereka(baca:Annisa Harsha & Sean Harsha) menghabiskan seluruh hidup mereka  untuk memutuskan apakah mereka Amerika, Indonesia, atau Third World Kid, anak-anak yang mengidentifikasikan diri pada lebih dari satu budaya.[…] Mereka juga merindukan malam-malam pergi makan nasi goreng di kaki lima.” (hal. 47-48)

Buku setebal 254 halaman ini sungguh membuat pembaca terharu biru, serius, tercerahkan, dan sekaligus merasa geli dan terhibur, karena isinya yang sarat makna dan nuansa.

Di mana bisa mendapatkan buku ini?

Buku ini tersedia di seluruh Toko Buku (TB) Gramedia, tetapi versi Bahasa Inggris-nya hanya dijual sesudah pertengahan Mei, di TB Gramedia tertentu, yaitu TB Gramedia Pondok Indah, Matraman dan Grand Indonesia. Pada tanggal 9 Mei, buku tersedia on-line, hard copy atau E-copy di SCOOP.

Menyusul berikutnya, peluncuran yang rencananya diadakan di Medan, Padang, Palembang, Solo dan Banda Aceh. Saat Kompasianer menanyakan kemungkinan pihak lain mengundangnya untuk ceramah atau diskusi buku, Stanley menyatakan bersedia. Untuk itu dia bisa dihubungi di akun Facebook: stanley harsha, atau di Twitter: stanley_harsha. | Twitter: @IndriaSalim

Referensi:

http://buku.kompas.com

http://www.antaranews.com

http://beritasore.com

*) Tulisan ini sebagai arsip artikel Penulis, yang sebelumnya diunggah di blog Kompasiana dan menjadi artikel Headline (HL), yang bisa dilihat di SINI

Blusukan Ala Diplomat Amerika, Stanley Harsha: Interviu Eksklusif oleh Kompasianer [Bagian 2] 

Dalam buku ini saya menyimpulkan, bahwa sekarang perasaan minoritas Islam Amerika di Amerika Serikat yang juga terasa sedikit terdiskriminasi, agak sama dengan perasaan minoritas di Indonesia. Jadi memang ada diskriminasi terhadap kaum minoritas di sini. Meskipun begitu, pada dasarnya Indonesia adalah negara toleran. Di pihak lain, saya sangat tidak suka kalau di Amerika Serikat, ada kecenderungan untuk membenci orang Islam (Islamophia). Namun, sebenarnya mereka yang membenci itu siapa? Begini ya, mayoritas orang Amerika yang lebih muda, lebih terpelajar, partai demokrat — mereka lebih toleran terhadap Islam. Saya sendiri umat Islam.

Penulis Izharry Agusjaya Moenzir, Stanley Harsha, editor senior Jakarta Post Endy Bayuni, mantan Rektor UIN Jakarta, Azyumardi Azra, dalam peluncuran buku (Sumber: Antara News )
Penulis Izharry Agusjaya Moenzir, Stanley Harsha, editor senior Jakarta Post Endy Bayuni, mantan Rektor UIN Jakarta, Azyumardi Azra, dalam peluncuran buku (Sumber: Antara News )

Kompasianer: Bagaimana proses penerbitan dan penerjemahan bukunya?

Stanley Harsha: Buku harus dikirim dulu ke Washington DC, untuk memastikan bahwa tidak ada rahasia negara yang bocor. Tulisan ini memang berisi hal yang bukan rahasia negara. Begitu buku saya kirim ke Washington DC, pada saat bersamaan, isteri saya (Henny Mangoendipoero Harsha) mengerjakan terjemahannya.

Dalam proses menulis, saya selalu mempertimbangkan bahwa ini akan diterjemahkan dalam bahasa Indonesia untuk para pembaca Indonesia. Saya menulis dalam bahasa Inggris juga – yang penting cocok untuk pembaca Indonesia. Kalau saya mengutip nara sumber Indonesia, saya mengutip langsung dalam versi aslinya, bahasa Indonesia. Begitu pun bila sumbernya dari buku atau surat kabar berbahasa Indonesia.

Untuk Washington D.C., Saya harus menerjemahkan semua yang berbahasa Indonesia ke dalam bahasa Inggris. Istri saya menerjemahkan bagian yang saya tulis ke dalam bahasa Inggris. Ini dilakukannya bab per bab, lalu saya reviu.

Saya membaca kedua versinya. Kalau ada terjemahan yang kurang tepat, maka kami diskusikan berdua, baru direvisi. Itu prosesnya. Waktu penerjemahan kurang dari satu bulan, dan itu hasil kerja keras isteri karena deadline (tenggat)sudah ditentukan oleh penerbit dengan ketat. Setiap minggu mereka menentukan target penyelesaian. Editor bahasa Indonesia adalah  Mulyawan Karim dari Penerbit Buku Kompas. Sedangkan editor versi bahasa Inggris-nya abang saya, meski dia tidak mau namanya dicantumkan. Anak-anak saya, Annisa Harsha dan Sean Harsha juga menjadi editor untuk buku versi bahasa Inggris.

*Interviu terhenti sebentar, Pak Stan menelpon untuk mencari tahu tentang waktu dan jam melayat Pepeng Soebardi yang hari itu meninggal dunia. Dalam bukunya, ada tulisan yang memuat tentang Pepeng Soebardi.*

Bersama anak-anak madrasah Ibtidaiyah di masjid Alfalah Jalan Murni, Kelurahan Tanjung Rejo, Kecamatan Medan Sunggal, usai berbuka puasa dan sholat maghrib. |Foto: Berita Sore/Hj Laswiyati Wakid.
Bersama anak-anak madrasah Ibtidaiyah di masjid Alfalah Jalan Murni, Kelurahan Tanjung Rejo, Kecamatan Medan Sunggal, usai berbuka puasa dan sholat maghrib. |Foto: Berita Sore/Hj Laswiyati Wakid.

Demikian, maka bagian akhir interviu akan dilanjutkan pada kesempatan lain. (Bersambung ke Bagian 3)

*) Tulisan ini sebagai arsip artikel Penulis, yang sebelumnya diunggah di blog Kompasiana dan menjadi artikel Headline (HL), yang bisa dilihat di SINI

Blusukan Ala Diplomat Amerika, Stanley Harsha: Interviu Eksklusif oleh Kompasianer [Bagian 1]

Mendapatkan tanda tangan Penulis
Mendapatkan tanda tangan Penulis “Like the Moon and the Sun” — Stanley Harsha |Foto: Indria Salim

Stanley Harsha, adalah mantan diplomat Amerika Serikat (AS) yang dalam empat periode penugasan resmi selama 12 tahun di Indonesia,banyak melakukan ‘blusukan’. Itu terjadi semasa 28 tahun menghayati kecintaannya tentang Indonesia, dalam kehidupan pribadi dan profesional di kedua ‘rumahnya’ —  Indonesia dan Amerika.

Pada tanggal 4 Mei, Pak Stanley (begitu para sahabatnya di Indonesia memanggilnya) meluncurkan buku Seperti Bulan dan Matahari, Indonesia dalam Catatan Seorang Diplomat Amerika (Like the Moon and the Sun – Indonesia in the Words of an American Diplomat).

Di dalam bukunya, Stanley mengungkapkan perjalanan hidupnya selama 30 tahun terakhir, dalam perannya sebagai seorang suami yang sangat mencintai sang isteri — seorang putri bangsawan Solo, menantuPak Padmosawego Mangoendipoero – yang dengannya, Stanley belajar memahami, menghormati dan menerapkan banyak ajaran Islam dan falsafah Jawa adiluhung. Buku Stanley juga menyajikan pemikiran, pengalaman, harapannya tentang hubungan Indonesia-Amerika, Islam toleran Indonesia yang menjadi contoh buat dunia, juga analisis tentang Islam dan politik di kedua negara tersebut, dan proses penerbitan buku, yang peluncurannya diadakan  di Bentara Budaya Jakarta.

Terkesan sesudah membaca berita di AntaraNews tentang peluncuran buku terbitan Penerbit Buku Kompas,  Seperti Bulan dan Matahari, Indonesia dalam Catatan Seorang Diplomat Amerika, lalu Kompasianer Indria Salim mengucapkan selamat kepada sang penulis buku. Tak disangka, Kompasianer ini beruntung mendapatkan buku dengan tanda tangan langsung dari Pak Stanley, sesaat sebelum kesempatan interviu eksklusif dengannya.

Berikut ini  petikan sebagian interviu eksklusif Stanley Harsha, Kamis (07/05/2015). Sebagai catatan, Stanley yang fasih  berbahasa Indonesia, Spanyol, dan Mandarin ini dulunya adalah jurnalis yang bertugas di Amerika Serikat dan Venezuela.

Kompasianer: Bisa diceritakan keseluruhan isi buku Anda, Pak Stan?

Stanley Harsha: Ada dua sisi. Pertama, saya menulis tentang adat. Di situ ada banyak orang Indonesia yang tidak tahu juga, karena pengetahuan ini berasal dari keluarga (isteri) saya – yang keturunan keluarga Jawa, Ki Padmosusastro (1841-1926, pelopor kesusasteraan dan filsafat Jawa modern). Ki Padmosusastro punya pengetahuan dan pemahaman filsafat Jawa Kuno yang sangat dalam, yang mungkin asalnya dari Majapahit. Mungkin juga orang asing yang bukan ahli Indonesia, mereka bisa dapat pelajaran soal ini,  bagaimana memahami adat Indonesia.

Kedua, dari situ saya melompat ke hal yang lebih berat. Peristiwa 11 September, toleransi agama, terorisme, dan HAM. Dari sisi ini, orang Indonesia bisa belajar tentang diplomasi AS dari pandangan ‘orang dalam’ (baca: diplomat Amerika Serikat). Semua ini belum pernah ditulis, karena selain saya belum ada yang menulis tentang ini.

Kompasianer: Bagaimana dengan (tulisan) pengamat politik Amerika seperti […] ?

Stanley Harsha: Tentu ada penulis lain. Ada banyak, yang jauh lebih ahli dari saya — ahli sejarah, politik, antropologi, musik. Saya bukan cendekiawan, tapi saya punya pengetahuan dari ‘dalam’, sebagai diplomat.  Saya diplomat, jadi saya membahas hal-hal yang menarik dan berat, langsung dari tokoh-tokoh politik dan pemimpin masyarakat di sini. Dan saya banyak blusukan juga. Saya sering bicara sama masyarakat, atau orang biasa.

Jadi itulah, baik orang Amerika maupun orang Indonesia, mereka mungkin bisa dapat sesuatu dari yang saya tulis.

Untuk orang Indonesia saya ingin berbagi gambaran tentang agama dan Islam di Amerika dan Indonesia. Saya menulis banyak tentang toleransi agama di Amerika, dari soal Islam dan toleransi sebenarnya di Amerika, sampai sejarah di Amerika.

Untuk orang Amerika, saya menulis tentang agama dan Islam di Indonesia. Intinya saya sangat tajam mengecam orang yang membenci agama lain, saya mengecam keras orang Kristen di Amerika yang tidak toleran, dan orang Islam di Indonesia yang tidak toleran.

Pokok kesimpulannya adalah, bahwa mayoritas orang Amerika dan Indonesia itu toleran, tapi kita harus lebih berusaha agar orang yang tidak toleran, tidak menciptakan suatu suasana yang sangat membahayakan. Adalah sangat berbahaya bila karena sesuatu yang kita tidak saling mengerti, berakibat pada munculnya kebencian, lalu dari kebencian bisa timbul penekanan, atau intimidasi pada pihak lain.

Ini bisa memicu konflik dan perang. Buktinya Amerika Serikat begitu cepat memerangi Irak dan Afganistan. Kalau AS dulu lebih bijaksana, punya pengetahuan yang lebih mendalam tentang dunia, tentang Islam, dan sebagainya, mungkin mereka tidak akan sampai begitu memerangi Irak. Jadi dalam hal ini, orang yang sangat pintar bisa (bersikap) bodoh kalau tidak melakukan usaha memahami budaya orang lain. Jadi budaya sangat penting. Pemahaman dan sikap saling pengertian antar budaya berbeda sungguh penting.

Itu yang khas Indonesia, toleran. Yang tidak toleran hanya sebagian kecil ( baca: minoritas). Saya menuliskan dalam buku ini, bahwa umat Kristen merasa tertekan, takut terhadap ancaman (kelompok) ekstrim. tentang itu nggak banyak. Mereka juga diintimidasi, […] ada gereja yang dibakar, meskipun berita tentang itu nggak banyak. [Bersambung di Bagian 2]

*) Tulisan ini sebagai arsip artikel Penulis, yang sebelumnya diunggah di blog Kompasiana dan menjadi artikel Headline (HL), yang bisa dilihat di SINI

 

Sukses Menjadi Penulis: Bersahabat dengan Tenggat

Menulis untuk hobi, atau pekerjaan, selalu tak terpisah dari tenggat waktu dan ini juga kunci penting agar semua yang direncanakan bisa terlaksana dan membuat kita semakin bersemangat menulis.
Banyak ide, ada kemampuan menulis, ada semangat, tapi kalau tidak diselaraskan dengan disiplin pengaturan waktu dan jadwal maka semua akan menjadi sia-sia dan terhenti di tengah jalan. Penulis mengalaminya, dan masih tetap mendisiplinkan diri dalam hal ini.
Sayangnya ada stigma yang membuat orang gentar dengan kata kunci ‘tenggat’ atau deadline. Ini sering dianggap beban, sehingga penulis merasa tergopoh-gopoh menulis yang berakibat hasil tulisan tidak maksimal,  dan fatalnya bahkan sampai ‘ketinggalan kereta’. Mana ada kereta menunggu penumpang?
Tips ini dimaksudkan lebih sebagai pengingat bagi Penulis sendiri, tapi sekaligus dibagikan di sini dengan harapan bisa membawa manfaat bila relevan buat kita semua. Yuk, kita berteman baik dan mengakrabitenggat menulis.
Kita tanamkan dalam pikiran bahwa tenggat bukanlah momok. Salah satu alasan terbesar kita cenderung menunda adalah karena jauh di dalam benak, kita menganggap tugas itu kewajiban yang membebani.Ternyata bekerja dengan disiplin itu justru meringankan beban kita. Selalu positif dan berpedoman bahwa semakin cepat pekerjaan kita selesaikan, maka kita akan bisa segera menggarap proyek berikutnya, meraih kesempatan lainnya. Ya itu sejauh yang Penulis alami. Semakin sering kita ketinggalan kereta, semakin kita merasa bersalah, dan ini sungguh kontra produktif untuk pengembangan diri sebagai Penulis.

Alat pengingat tenggat
Alat pengingat tenggat 

Penetapan tenggat menjadi beberapa porsi kecil, ataupun setengah porsi. Lho, memang proyek menulis itu jenis makanan? Ya, ini istilah yang sering dipakai waktu Penulis dulu menjadi pegawai kantoran. Bahwa apa yang menjadi target yang harus diselesaikan dengan jadwal tertentu, dalam waktu terbatas, itulah piring makanan yang harus kita habiskan dengan sukacita. Misalnya sekarang hari Senin, dan dalam awal minggu ini merencanakan menulis dua artikel (cerpen, puisi, dsb), atau menyelesaikan satu-dua bab (untuk buku, novel dsb.).

Dalam praktiknya, bisa saja muncul peristiwa yang lebih menarik perhatian kita, sehingga berpotensi mengalihkan fokus perhatian pada hal yang sifatnya sesaat. Apalagi buat Penulis yang kadang impulsif, dan ‘di luar sana’ banyak penawaran kesempatan baru yang tampaknya lebih berkilau. Nah kita harus tetap setia dengan menu minggu yang ada di piring kita. Begitulah kira-kira gambarannya. Lalu kita tetapkan tenggat waktu pertengahan minggu, alih-alih akhir pekan. Dengan begitu, pekerjaan akan kita lakukan dengan lebih ringan karena pembagian tahapan dengan target lebih kecil, namun dengan penjadwalan yang lebih aman untuk antisipasi bahwa menjelang akhir tenggat, kita sudah menyelesaikan sebagian besar tulisan sesuai target.

Kerjakan lebih dulu tugas-tugas rutin, misalnya membersihkan dapur, berbelanja mingguan, menyiapkan sarapan, mencuci motor atau mobil.Ini untuk meminimalisir godaan yang akan merusak jadwal utama menaklukkan tenggat.Dalam beberapa kali peristiwa, saya menyadari bahwa selalu ada saja godaan impulsif melakukan hal di luar yang dijadwalkan. Misalnya, ketika baru akan memulai menulis, tiba-tiba kita merasa sangat ingin menata buku di rak atau meja kerja. Atau, mendadak kita ingin menata ulang lemari baju, atau rak sepatu, atau menyirami tanaman di halaman? Itu sekadar contoh saja. Kita paham benar, kalau kita punya tenggat waktu yang tidak akan bisa ditawar, khususnya bila itu berhubungan dengan pihak lain.

Contoh sederhana, menulis artikel lomba di Kompasiana. Kebetulan dalam minggu itu, ada beberapa lomba yang menarik perhatian kita. Nah, tentu tenggat terdekat, itulah yang perlu kita bereskan lebih dulu, terlepas dari preferensi topiknya. Jujur, Penulis tidak selalu berhasil menaklukkan diri sendiri dalam hal ini. Itu sebabnya tulisan ini dibagikan di sini agar kita saling mengingatkan.

Semakin dekat dengan tenggat waktu, pasti ada di antara kita yang tergoda untuk semakin mengalihkan perhatian diri pada hal lain di luar rencana bertenggat waktu. Pernah Penulis mengalami hal konyol, dengan ‘pembenaran diri berhak istirahat sejenak’, Penulis terjebak dengan keasyikan membereskan pengarsipan file di laptop. Tahu-tahu waktu tinggal satu jam sebelum tulisan harus dikirim ke e-mail panitia lomba, misalnya.

Menetapkan daftar rencana menulis dan menyusun prioritas. Dalam artikel sebelumnya yang berjudul “Menjadi Produktif Tanpa Stress Konyol” , Penulis menyarankan “agar produktif dengan waktu yang ada, kita perlu menetapkan tujuan jangka pendek, menengah dan panjang. Jika kita mengabaikannya, maka setiap hari kita akan terperangkap dengan perasaan stagnan, tanpa pencapaian, atau kemajuan kehidupan.”

Di luar soal tenggat, ada faktor penentu lain sebagai kunci sukses kita. Ini berhubungan dengan pengenalan diri dalam kebiasaan kita (menulis). Setiap individu punya kebiasaan unik atau berbeda satu sama lain. Kita pahami dan gali hal itu, khususnya kebiasaan yang bisa dimanfaatkan sebagai pendorong produktivitas dan semangat menulis. Ada sebagian orang yang lebih suka memulai pekerjaan dari yang paling sederhana atau termudah lebih dulu, baru kemudian berangsur dan bertahap, menyelesaikan hal yang lebih sulit dan dengan ‘porsi’ lebih besar.

Sebenarnya, Penulis menyiapkan artikel ini dalam rangka melakukan ‘pemanasan’ sebelum mengerjakan rencana menulis yang lebih besar porsi dan tingkat kesulitannya. Kembali pada soal kebiasaan individu, ada sebagian dari kita yang lebih mudah melakukan hal tersulit lebih dulu, baru kemudian semakin laju menyelesaikan sisa porsi di piringnya.

Maaf, dari tadi Penulis menyebut porsi dan piring. Ini agar kita melihat tenggat menulis seperti melihat semangkuk bakso, atau sepiring nasi Padang lengkap dengan lauk pauk dan sayur nangka nan lezat menggoda. Asyik, kan jadinya?

Jangan lupa gunanya Post-it. *Maaf, ini bukan iklan*Semakin berwarna-warni Post-it itu, semakin kita ingat jadwal menulis sesuai prioritas dan tenggat. Asyik, kan?

Jeda itu wajib, penting, dan baik untuk kesehatan. Perlu diingat, kita bukan mesin atau robot.Kita perlu mengambil waktu khusus untuk pemulihan tenaga, penyegaran pikiran, mengendurkan otot-otot kaku karena duduk manis menulis, dsb. Sempatkan paling tidak setiap satu jam, kita bangkit dari tempat duduk, dan melenturkan pundak, lengan, pinggang dsb. Bangkit dan berjalan-jalan sejenak, atau ngobrol sedikit dengan orang sekeliling, tidak perlu berlama-lama namun secukupnya.Lalu kembali ke…. laptop!

Peduli bahwa setiap menit berharga. Ini agar kita bisa merasakan bahwa setiap menit yang kita gunakan untuk menulis adalah kesempatan berharga yang berdampak ganda, yaitu bisa menulis sesuai target, semakin produktif, semakin semangat, dan kemungkinan besar semakin memberi manfaat bagi orang lain. Kalau kesadaran ini kita perkuat setiap hari, maka lambat laun kebiasaan menunda pekerjaan (dalam hal ini menulis) akan semakin hilang.

Kembali ke porsi di piring! Kenali kapasitas kita menghabiskan porsi yang realistis. Ini untuk meminimalisir stress yang tidak perlu. Semakin kita mengenali potensi dan kapasitas diri, semakin besar porsi yang bisa kita ‘habiskan’ dan keberhasilan menjadi Penulis produktif dan keren ‘beken’ akan terwujud nyata. Mudah-mudahan. | @IndriaSalim

Reblog-150819

*) Tulisan ini sebagai arsip artikel Penulis, yang sebelumnya diunggah di blog Kompasiana dan menjadi artikel Headline (HL), yang bisa dilihat di SINI  

Tags: membaca tips keterampilan menulis

Pemenang Blog Reportase “Komik Macan Putih”

Komik atau cerita bergambar bukan saja menjadi konsumsi dan digemari oleh anak-anak. Orang dewasa, termasuk beberapa Kompasianer yang hadir saat bedah komik “Macan Putih” karya tiga anak Indonesia, Irfan Ihsan (Penulis), Donny Gandakusuma (Ilustrator) dan Novita Tesalonka (Pewarna) pada hari Senin, 14 April 2014 lalu.

Dalam acara tersebut, hadir sebagai pembicara Irfan Ihsan dan Donny Gandakusuma. Selaku penulis cerita, Irfan bercerita banyak tentang proses pembuatan komik. Beda halnya dengan Donny sebagai ilustrator, ia lebih banyak berbicara melalui keterampilannya dalam menggambar.

Sesuai pengumuman sebelumnya, setelah acara berlangsung, Kompasianer yang hadir dapat mengikuti kompetisi blog reportase acara. Setelah melalui proses penjurian, berikut 3 pemenangnya:

Pemenang I: Komik Macan Putih: Bacaan Segala Umur oleh Indria Salim
Pemenang II: Peluncuran Komik “Macan Putih” Besutan Anak Bangsa oleh Ety Budiharjo
Pemenang III: Menilik Macan Putih, Pahlawan Superhero Persembahan Komikus Indonesia oleh Rokhmah Nurhayati Suryaningsih
Ketiga pemenang di atas berhak mendapatkan masing-masing sebuah paket buku + voucher gramediana + voucher TB. Gramedia Rp 300.000

Kepada para pemenang diminta untuk mengirimkan data diri lengkap melalui email Kompasiana ke kompasiana[at]kompasiana[dot]com dengan subjek email “Pemenang Macan Putih”. Lampirkan data diri (Nama, Alamat terkini, No. TLP, dan URL Kompasiana). Jangan lupa untuk verifikasi akun Anda di SINI.

Kami tunggu konfirmasi Anda dalam 7 hari ke depan. Hadiah akan dikirimkan langsung oleh pihak penerbit Gramedia Pustaka Utama. (RUL)

Sumber: Kompasiana.com

Indriasalim's Blog

Pemenang Blog Reportase Komik Macan Putih. (Penulis mendapatkan hadiah Juara Satu Lomba Blog Reportase ini.

View original post

Komik Macan Putih: Bacaan Segala Umur (Bagian #2)

Kompasianers antusias mengikuti bedah buku (Foto: Indria Salim)
Kompasianers antusias mengikuti bedah buku (Foto: Indria Salim)

Kenapa Memilih Jalur Komik

Irfan adalah seorang broadcaster internasional & novelis. Sebelum menulis komik, ia sempat menerbitkan sebuah novel berjudul Cinta Kamu, Aku – Ini Bukan Drama Radio (2013). Membaca Komik adalah hobi Irfan sejak dari kecil, selain nulis juga. Lalu pada saat menulis lagi, timbul ide membuat komik. Saat itu tidak terlaksana. Lalu tahun lalu, ia ketemu seorang teman, dan membicarakan tentang menulis cerita komik.Saat melakukan cek situasi komik Indonesia, ia mengamati bahwa itu ternyata sulit. Kebanyakan komik yang ada di toko  buku di Indonesia berupa komik Jepang, Korea dan USA.

Menyelidiki lebih lanjut, Irfan mendapati fakta bahwa  ternyata ada banyak komik Indonesia yang bagus . Hanya saja, semua itu tidak atau jarang tersedia di toko buku pada yang ada. Maka terbetik pemikiran agar komik Indonesia harus dibangkitkan kembali dan diupayakan ketersediaannya. Lalu Irfan melihat-lihat ilustrator Indonesia. Sungguh mengejutkan bahwa ternyata, ilustrator komik Amerika seperti Ardiansyah saja, sudah kontrak oleh penerbit besar Amerika.

Lantas Irfan berkenalan dengan Donny setelah melihat websitenya. Mereka  ngobrol online, menyamakan visi dan misi tentang komik Indonesia, dan kemudian  memutuskan bekerja sama.

Komik Seri Super Hero Macan Putih hanya salah satu trigger dan wahana untuk mengakomodasikan komikus Indonesia yang sebetulnya cukup banyak jumlahnya. Kebetulan Bu Mira dan GPU menyambut ide itu. Donny mencari colorist dari internet, terbentuklah group line. Rencananya, seri Macan Putih akan terbit dua bulan sekali. Lalu setelah itu akan ada Seri lain dengan tokoh yang berbeda.

Bagaimana dengan penuturan Donny Sang Ilustrator? Ia memang bercita-cita bikin komik Indonesia, walupun justru sudah lebih dulu bikin komik Amerika. Berkenalan dengan Irfan membuatnya merasa seperti gayung bersambut. Menurutnya, di Amerika tu industri komiknya luas. Maka tak heran kalau Amerika lebih gampang menerima banyak talent. Sedangkan di Indonesia, komikus masih kurang dihargai. Ia lalu mengambil opsi berkarya untuk produksi luar negeri, baru setelah sukses maka lanjut untuk kembali ke Indonesia.

Bagaimana Keempat Kolaborator Itu Menyatukan Ide Detil dan Proses Kreatifnya?

Irfan mengungkapkan bahwa sebagai awal prosesnya itu memakan waktu, mereka intens membicarakan desain karakter, disesuaikan dengan naskah dari Irfan. Pada tahap itu, Donny mencoba mengusulkan bentuk gambar untuk mendapatkan feedback dari Irfan. Hal ini dilakukan terus-menerus, sampai ide keseluruhan tercipta menjadi satu buku “Yang Terpilih”.  Begitu desain karakter jadi, proses selanjutnya berlangsung sekitar empat bulan. Mereka seperti bikin naskah film, pakai panel, dan lain-lain.

Donny menambahkan penjelasan Irfan, bahwa semua dilakukan dalam team work yang punya semangat & sikap keterbukaan yang sama, dan kesediaan saling menerima masukan. Diakui Irfan, Novi sebagai pewarna lebih fokus pada perannya sendiri, karena hal lain sudah dihandel oleh Irfan dan Donny.

Donny mulai dengan sketsa pensil dan detil-detilnya, yang per halaman diselesaikan sekitar 1 hari, sedangkan yang lebih rumit ia selesaikan 2-3 hari.

Asal-usul Ide Macan Putih

Setting waktu dibuat dalam waktu saat ini, karakternya Indonesia, dan tema cerita adalah isu sosial dan peristiwa keseharian yang terjadi di masyarakat di Indonesia. Isi cerita komik ini full fiksi. Terinspirasi dari super hero di Indonesia bisa juga disimbolkan dalam bentuk kekuatan spiritual.  Di sini digambarkan ada sebuah kekuatan baik, yang berwujud ilmu macan putih, yang memasuki tubuh manusia untuk . setiap generasi. Macan Putih memilih hanya memasuki orang yang punya hati bersih dan berjiwa besar. Kekuatan Macan Putih adalah untuk membawa kebaikan di bumi.

Komik Macan Putih“Yang Terpilih” ini, memperkenalkan tokoh remaja bernama Kinan, yang  kuat akan pendiriannya di tengah-tengah teman yang suka membully. Kinan merasa harus menjaga adiknya, dan itu sejak dia dan adiknya (Rania_) menjai anak-anak piatu. Ibu kedua anak ini meninggal dalam sebuah kecelakaan mobil.

Satu pesan yang dikenalkan dalam komik ini: bahwa di balik pribadi orang “biasa”, yang diindikasikan sebagai orang yang tidak popular, prestasi tidak menonjol, dlsb, ternyata mereka punya hati terbersih dan tulus. Dengan kata lain, nilai pribadi tidak sekadar dilihat dari tampak luarnya saja.

Maka Kinan yang dipilih untuk bisa menjaga bumi. Di sini terkisahkan ada kekuatan baik melawan kekuatan jahat. Ilmu Macan Putih yang konon asalnya dari Jawa Barat, dalam komik ini sudah dimodifikasi total. Setting tempatnya di Jakarta, meski dalam perkembangannya kelak, bisa saja dipindahkan ke kota lain.

Komik Macan Putih pertama disiapkan sedemikian rupa sampai yang ke-6, ke-7, dan seterusnya. Tulisan untuk semua edisinya sudah selesai disiapkan. Namun dalam prosesnya, dibuka kemungkinan selalu ada improvisasi.Ending-nya juga sudah tergambarkan, namun hal ini masih menjadi rahasia penulis dan ilustratornya.

Soal Kinan sendiri digambarkan sebagai siswa SMU, namun bisa juga ada kemungkinan perkembangan usia yang berubah pada prosesnya. Hanya saja, untuk seri awalnya (original) akan dibuat berkembang terus mengikuti usianya.

Karena menerbitkan satu komik saja akan kurang terpapar dari perhatian pembaca, maka Irfan akan memerlukan artis lain selain Donny dan Novi. Akan ada seri lainnya yang sifatnya lanjutan  dan parallel. Tentu hal ini butuh bantuan lebih banyak artis (illustrator) lain. Irfan mengundang artis lain untuk bergabung dan mengembangkan komik super hero Indonesia. Irfan menengarai bahwa banyaknya jumlah komikus tidak diimbangi dengan selalu adanya kesempatan yang didapatkan untuk menampilkan karya mereka di Indonesia. (Bersambung)

*) Postingan ini sebagai arsip artikel Penulis, yang sebelumnya diunggah di blog Kompasiana — di SINI.

Sepuluh Manfaat Membaca (Bagian 2 – Selesai)

Baiklah saya sudahi kisah awal pengenalan dunia membaca sampai di sini. Yang mungkin lebih relevan buat Anda adalah mengetahui manfaat membaca pada umumnya, sependek pemikiran saya.

1.    Melatih keterampilan analitis dan daya pikir: Ini khususnya berlaku bila kita membiasakan diri membaca dengan kritis. Saat membaca, kita tidak begitu saja menelan isi materi yang disajikan penulis.Di sini ada proses dalam mencerna materi yang kita baca. Dari situ, maka timbul reaksi otak, maupun reaksi pikiran. Apakah kita menyukai, menyetujui, memiliki pertanyaan atas tulisan tersebut, dan bahkan ingin menyampaikan pendapat kita tentang hal yang kita baca itu.

2.    Meluaskan daya imajinasi otak dan melatih daya cipta.Membaca memperluas imajinasi kita. Ini akan membuat kita lebih percaya diri, yakin akan kemampuan kita untuk memahami dan menghargai berbagai aspek kehidupan. Pikiran kita mendapatkan jalan untuk berpikir tentang aspek-aspek berbeda dari suatu hal , dan dengan begitu memampukan kita untuk mempertanyakan dan membuat kesimpulan atas hal-hal tersebut.

3.    Meningkatkan kemampuan kita untuk fokus. Sebagai seorang pembaca, kita mendapat kesempatan melatih daya konsentrasi. Ini agar kita bisa lebih fokus pada berbagai aspek kehidupan yang harus kita hadapi kelak. Jika pikiran kita terfokus, maka ini memampukan kita menjadi lebih atentif dalam praktik kehidupan sehari-hari. Dengan kemampuan berkonsentrasi dan fokus, tubuh dan pikiran kita bisa menjadi tenang; dan ini diperlukan untuk bisa menghadapi dan menyikapi masalah secara obyektif, demi pembuatan keputusan yang baik dan tepat.

4.    Membantu kita mencapai tujuan atau cita-cita. Orang-orang yang mengembangkan kebiasaan membaca sejak kecil lebih mampu menentukan tujuan mereka dalam kehidupan. Membaca juga membantu mereka dalam mencapai tujuan-tujuan ini karena sekali seseorang suka membaca buku dan bahan bacaan lain, maka akan lebih mudah baginya untuk mulai mengarahkan perhatian dan fokus pada tujuan yang ingin dicapai.

5.    Memberi kepuasan mental dan emosional : Hal ini dimungkinkan karena dengan membaca, pikiran kita mau tidak mau menjadi aktif secara positif. Ini baik bagi otak kita, seperti halnya olah raga dan senam baik bagi tubuh dan otot kita.

6. Memberi bekal cukup untuk menjadi pembicara yang baik.Membaca menambah pengetahuan dan memberi pilihan materi pengetahuan yang luas cakupannya. Orang yang tahu sesuatu yang berkualitas, cenderung dapat berbicara tentang suatu hal dengan baik dan lancar. Ini akan menumbuhkan rasa hormat dan pengakuan dari orang-orang di sekitarnya, atau pendengarnya. Sebaliknya, bila seseorang itu pengetahuannya kurang, atau tidak menguasai bidang tertentu, maka ia tidak bisa menjadi pembicara yang baik.

7.    Memberi bekal cukup untuk mampu menulis dengan baik.Tidak semua pembaca itu penulis. Banyak orang membaca buku atau koran namun tidak pernah dapat menuliskan ideya sendiri. Ini karena mereka tidak memiliki pemahaman yang cukup dari bacaan mereka. Berbeda dengan itu, adalah pembaca yang baik. Pembaca yang baik, adalah pembaca yang tekun, cermat, dan kritis sehingga mampu mengapresiasi tulisan yang baik, dan membedakannya dengan tulisan yang buruk. Ini sebabnya, untuk menjadi penulis yang baik – penulis apa saja, maka kebiasaan membaca itu wajib hukumnya, setidaknya ini syarat utama. Kita tidak bisa menulis tanpa terlebih dahulu “belanja pengetahuan” dan memahami bagaimana bahasa bekerja untuk mengkomunikasikan ide-ide.

8.    Memperkaya pelajaran tentang kehidupan & menambah wawasan. Banyak hal yang sebelumnya tidak kita pahami, menjadi sesuatu yang bermanfaat dan menambah wawasan setelah banyak membaca. Mungkin membaca biografi, kisah sukses dan jatuh bangunnya seorang tokoh, dan lain sebagainya. Hal ini tentu menjadi relevan bila ada sesuatu yang bisa kita jadikan pelajaran dan pembelajaran. Ada pesan atau inti pembelajaran yang bisa kita petik setelah membaca.

9.    Menjadi dasar untuk meningkatkan ketrampilan teknis dan praktis. Pernah mendengar bahwa seseorang bisa mahir dalam suatu keterampilan tanpa harus mengambil pelatihan khusus? Atau mungkin Anda sendiri bisa mengatakan bahwa Anda menguasai keterampilan memperbaiki AC, atau motor secara otodidak? Hal ini bisa dimungkinkan dengan membaca buku keterampilan di bidang itu.

10. Membuat pikiran terbuka dan menerima perbedaan dengan budaya, atau pemikiran orang lain. Sekadar mendengar informasi tentang budaya lain yang berbeda dengan budaya kita, bisa menciptakan salah persepsi. Namun bila kita menyempatkan diri membaca secara mendalam tentang budaya tersebut, misalnya, maka kita akan mendapatkan pencerahan dan pemahaman dasar tentang budaya orang. Idealnya, ini akan membantu kita mampu memahami orang lain atau perbedaan dengan lebih baik. Dengan kata lain, membaca itu meminimalisir kepicikan.

Kesimpulannya, membaca itu memperluas cakrawala pengetahuan, menambah kosakata yang berguna dalam mengkomunikasikan gagasan, dan meningkatkan sikap toleransi dan keterbukaan pada lingkungan, masyarakat atau budaya dan lain-lain yang berbeda dari kita, atau yang kita ketahui sebelumnya.

Sekian, mohon maaf bila tulisan ini  tidak sepenuhnya sesuai dengan pendapat Anda.

*) Artikel ini sudah Penulis unggah di blog Kompasiana, di sini: SINI.

Artikel lain: Dua Jurus Ampuh dalam Menulis

Sepuluh Manfaat Membaca (Bagian 1)

Pengenalan Kegiatan Membaca Sejak Usia Dini

Setiap kali mengunjungi toko buku, mendadak saya menjadi pembelanja impulsif. Masih bagus kalau saya bisa mengeremnya. Saya selalu punya pembenaran untuk membeli buku apa pun yang menarik minat saya. Untuk buku, saya tidak mengenal adanya kategori alasan: prioritas, urjen, penting, perlu, atau pun sekadar ingin dan tergoda. Pokoknya beli saja.

Bagi saya ini seperti “bawaan orok”. Saya penggila buku sejak kecil. Lebih tepatnya, suka mengoleksi buku. Pernah saat di rumah kena giliran pemadaman listrik, saya nekad membaca di tengah temaramnya nyala lilin atau teplok jadul.

Saat kecil saya kadang disuruh Ibu membeli krupuk ke warung dekat rumah. Apa yang saya lakukan dalam perjalanan menuju warung dan sebaliknya? Saya merunduk menatap jalanan yang untungnya cukup sepi, berharap menemukan secarik kertas jatuh yang bisa menjadi bahan bacaan instan. Asyik juga. Ada saja yang saya temukan: kadang kertas bekas bungkus makanan yang ada tulisan tangan berisi hitung-hitungan bon, pernah juga secuil koran yang entah kenapa, tak akan luput dari perhatian saya untuk membacanya.

Selda (3,5 tahun) sedang belajar membaca (Dokpri)
Selda (3,5 tahun) sedang belajar membaca (Dokpri)
Adik hobi membaca sejak TK. (Foto: Indria Salim)
Adik hobi membaca sejak TK. (Foto: Indria Salim)

Saat berumur 5 tahun dan belum bisa membaca, saya mendapatkan sebuah buku dari Ayah. Buku itu semacam buku pengenalan nama-nama benda dalam bahasa Inggris yang bergambar warna warni. Bukunya hardcover, berukuran majalah, dan kertasnya tebal. Yang sampai sekarang saya tak pernah lupa, itu pertama kalinya saya mengenal kata “watermelon“, “a sailor“, “banana“, dan “a house“.

Sejak itu, saya selalu punya imajinasi tersendiri tentang buah semangka. Bagi saya seiris besar semangka itu sangat fantastis. Buahnya besar, ada biji hitam kecil-kecil di antara daging buah merah yang membuat mata saya melek dan berkejap-kejap, lalu  ingin melahap dan menyesap manis daging buahnya. Ironisnya, waktu itu ayah saya melarang kami makan semangka. Alasannya, buah yang sangat berair dan manis ini bisa bikin sakit panas dalam. Duh, ternyata almarhum ayah saya dalam hal itu cukup kuno karena memercayai mitos seperti itu ya.

Ada lagi satu buku cerita berbahasa Inggris “The Wise Robbin” hadiah dari ayah ketika saya bahkan belum bisa membaca lancar dalam bahasa apa pun. Saya kan poliglot, bisa berbicara setidaknya lima tiga bahasa: Jawa, “Indonesia” (yang ini tolong jangan disebut sebagai “bahasa” ya – orang yang kurang cermat akan bilang “Do you speak bahasa?” kepada orang asing, alih alih bilang, “Do you speak Indonesian”?),  lalu bahasa gaul, dan bahasa alay (bisa tetapi hanya sedikit) – ah saya bercanda kok.

Buku Bacaan Masa Kecil Yang Membekas (Foto: http://notesonpaper.blogspot.com)
Buku Bacaan Masa Kecil Yang Membekas (Foto: http://notesonpaper.blogspot.com)

Buku cerita anak “The Wise Robbin” sangat membekas di benak saya, meskipun waktu itu saya tidak tahu isi cerita lengkapnya. Saya hanya menduga-duga dari gambar-gambarnya, yang lagi-lagi ditampilkan penuh warna yang mencerahkan mata memandang.

Yang saya ingat dari penuturan Ibu, buku itu menceritakan tentang sepasang burung (Robbin) bernama Mr. & Mrs. Robbin. Di suatu musim dingin, Mrs. Robbin melihat perada yang menghiasi pohon natal di sebuah rumah. Demi sang isteri yang menginginkan perada buat sarangnya, Mr. Robin memasuki rumah itu untuk mengambil perada yang menjadi hiasan pohon natal. Ternyata ia terjebak karena ketahuan oleh pemilik rumah yang akan membuka hadiah-hadiah natal di pohon itu. Namanya juga cerita anak, maka kisahnya berakhir bahagia.

Buku lain yang sampai sekarang memberi kesan membahagiakan adalah buku “Tembang Dolanan” berbahasa Jawa, dan bergambar hitam putih mirip komiknya “Panji Koming” di Koran Kompas. Lagi-lagi, sebagai anak-anak, pengaruh ilustrasi pada sebuah buku besar perannya dalam membuat kesan mendalam di benak saya, sampai kini. Sayangnya buku itu sudah hilang entah ke mana. (Bersambung)

*) Postingan ini sebagai arsip artikel Penulis, yang sebelumnya diunggah di blog Kompasiana — di SINI.

Hayo, Siapa Ingin Menulis Buku?

Mengapa Anda Ingin Menulis Buku?

Pertanyaan itu bisa melahirkan banyak jawaban yang berbeda dan sekaligus memiliki kemiripan bagi siapapun yang ingin menjadi penulis buku. Ada yang dengan jujur mengatakan bahwa motivasi untuk menulis buku adalah karena ingin terkenal, dan dengan menjadi terkenal tentu diharapkan akan menghasilkan banyak uang. Ada lagi yang dengan malu-malu mengakui bahwa yang bersangkutan berpikir kalau menjadi penulis buku itu sepertinya asyik dan keren. Mungkin sebagian mengatakan bahwa menulis buku bisa menyalurkan bakat terpendam dan memenuhi kebutuhan batin dan intelektualitasnya. Nah ini juga belum begitu jelas indikasi yang terlihat nyata, kecuali seseorang benar-benar pernah menyelesaikan bukunya, apalagi kalau sudah diterbitkan. Kalau dilanjutkan lagi uraian ini, saya akan menjadi orang pertama yang merasa tersindir.

Ini catatan lama yang sekarang saya buka kembali, karena saya ingin mengingatkan diri sendiri tentang apa yang saya tulis waktu dulu. Harapan saya, tulisan ini menjadi hal yang juga relevan dengan sebagian pengalaman pembaca. Saat ini, saya sendiri menganggapnya sebagai bagian dari introspeksi sekaligus kritik atau pengingat terhadap diri sendiri.

buk1

buk2

Ironisnya dan faktanya, banyak orang ingin menulis buku dan berhenti sampai tahap berpikir akan menulis buku. Banyak alasan yang bisa diungkapkan mengapa hal ini terjadi. Ada yang mengeluh bahwa dirinya ingin menulis sesuatu tapi tidak punya ide, tidak tahu cara menulis, tidak ada waktu, kurang pengalaman dalam bidang tertentu yang ingin ditulisnya, kurang referensi, kurang percaya diri, kebanyakan ide sehingga bingung yang mana yang akan jadi bahan tulisannya, dan seabreg alasan lainnya.

Berikut ini beberapa kemungkinan manfaat yang Anda dapatkan bila sudah menulis buku Anda. Hal ini bisa menjadi motivasi atau pendorong semangat Anda untuk tetap melakukan usaha menulis, sampai sebuah cetak biru diselesaikan: Manfaat dari segi komunikasi, mendapatkan kemashyuran, mendapatkan banyak keberuntungan, peningkatan kredibilitas diri dan keahlian di bidang tertentu, dsb.

buk3

buk4

Lantas bagaimana tulisan ini berguna buat kita? Tentu kalau ada hal yang membuat Anda tergerak untuk langsung mulai menulis halaman pertama dari buku Anda, dan kemudian menulis lagi dan lagi, sampai halaman itu cukup memenuhi syarat minimum jumlah halaman sebuah buku. Kalau kita tidak punya stamina menulis untuk buku setebal minimal 100 halaman, maka menyelesaikan beberapa tulisan pendek untuk sebuah buku antologi bisa menjadi pilihan menarik. Itu yang sejauh ini saya lakukan, daripada tidak pernah merasakan serunya punya tulisan yang lolos dari seleksi penerbitan.

Begitu selesai menulis, kita memasuki proses berikutnya, yaitu menyunting tulisan sendiri (swasunting). Hal itu bisa dilakukan dengan membaca ulang, memangkas yang tidak perlu, menambahkan paragraf baru yang sebelumnya belum terpikirkan, mengubah frase atau kalimat yang kurang pas, dan mengadakan survei pribadi untuk mendapatkan masukan dari teman sekitar, dan khususnya juga para penulis yang lebih berpengalaman.

buk5

Untuk sementara, saya sudahi sekian dulu. Intinya, kalau kita sedang merasa malas (latihan) menulis, kita uji dan teliti ke dalam diri sendiri sebenarnya kita memang pengin bisa menulis dan menerbitkan karya kita enggak sih?

Saya juga sedang merenungi hal ini, menantang diri sendiri agar kembali kepada komitmen semula: menulis untuk berkarya dan berbagi dengan pembaca tentang apa yang bermanfaat dan memperkaya makna kehidupan. Alasan Anda ingin menulis kurang spesifik? Sekarang saatnya menuliskan hal itu di catatan pribadi Anda masing-masing.  | @IndriaSalim

*Postingan ini sebagai arsip artikel Penulis di blok Kompasiana, di SINI.