Menulis bagi Guru, Itu Keniscayaan [Bagian 2 – Tamat]

Seiring dengan kemajuan teknologi internet, saya mulai membuat blog pribadi. Lalu, hal ini saya sarankan juga pada siswa di kelas. Dari sini, timbul banyak pertanyaan siswa. Tentang manfaat dan kerugian berselancar di internet, tentang teknis membuat blog, tentang pemikiran lapangan pekerjaan di masa depan, dan hal lain yang kadang tidak terduga, diajukan oleh siswa di kelas.
Berikut saya tampilkan dua tautan blog penulis cilik, sebagai contoh nyata pengaruh budaya menulis yang ditularkan oleh guru, baik di sekolah atau pun di rumah.

www.kompasiana.com/sellynnayotama

Sellyn, siswa kelas IV-B, SD Gracia. Usia: 9 tahun. Hobi: (banyak) — membaca (paling suka), belajar menulis, bikin komik ngasal, belajar piano, sepedaan

www.kompasiana.com/seldasellyn

Selda, siswa SD Gracia, berusia 10 tahun. Kutubuku yang belajar menulis dan main piano.
Suatu keuntungan, sebelum menjadi guru, saya mendapatkan pengalaman dan keterampilan menulis dari pekerjaan di kantor sebelumnya. Maka, begitu ada kesempatan mengajar, saya melihat bahwa siswa seharusnya menjadi penerima utama manfaat pengalaman saya menulis. Dunia pengajaran dan pendidikan, sangat erat hubungannya dengan kegiatan menulis dan membaca. Guru dan Kepala Sekolah hendaknya menjadi agen utama yang menanamkan budaya menulis dan membaca.

Guru perlu meningkatkan keterampilan menulis, a.l. dengan ikut workshop penulisan. |Foto: Indria Salim
Guru perlu meningkatkan keterampilan menulis, a.l. dengan ikut workshop penulisan. |Foto: Indria Salim

Konsekuensinya, agen utama berkewajiban memiliki kemampuan yang kuat agar bisa mentransformasikan pengetahuan dan keterampilan menulis dan membaca para siswa. Sungguh menyedihkan, bila siswa diharapkan mengalami perkembangan dan peningkatan kecerdasan, sementara guru mereka tidak memeliki keterampilan memadahi dalam mengamalkan ilmu dan pengetahuan yang diajarkan.

Guru — termasuk Kepala Sekolah, berperan sebagai panutan, menjadi contoh nyata dalam kata, sikap, dan tindakan, sekaligus pemimpin yang mengarahkan siswa —  menyiapkan diri menyongsong masa depan penuh kemandirian & percaya diri.

Menulis, dan membaca menjadi bagian integral dan persyaratan utama seorang guru ideal. Menulis bukan saja untuk menjadi penulis. Menulis semakin nyata menjadi bagian dari ilmu kehidupan, seumur hidup. Maka, hanya guru yang menulis, akan lebih menghayati pengalaman dan pengetahuan hal ini, dan mampu membimbing para siswa agar menulis sebagai kebiasaan sehari-hari. Ini sangat efektif bila guru sendiri bisa menampilkan bukti nyata bahwa menulis adalah kesehariannya.
Menugaskan murid menulis, sementara guru tidak menulis adalah hal yang timpang, dan tidak bisa diharapkan hasilnya secara optimal.Menulis bagi guru adalah keniscayaan. Menulis bagi murid adalah pengharapan, dan idealnya kesenangan yang mencerdaskan.
Artikel ini penulis ikut sertakan dalam lomba menulis yang diadakan oleh Program Tanoto Foundation. |Twitter: @IndriaSalim

*) Tulisan ini sebagai arsip artikel Penulis, yang sebelumnya diunggah di blog Kompasiana dan menjadi artikel Headline (HL), yang bisa dilihat di SINI

Leave a comment