Fakta & Rahasia Saya Tentang Buku [Bagian 3 – Tamat]

3. Membaca Itu Mengasah Keterampilan Berbahasa & Menambah Kosakata


Dari cerita pengalaman beberapa sahabat saya, juga dari berbagai tulisan tentang orang-orang yang sangat tinggi keterampilannya berbahasa, baik sebagai penulis, pembicara, dosen, konseptor,motivator, atau penerjemah dan juru Bahasa, rata-rata dari mereka mengaku suka membaca. Bahkan ada yang memang menjadi kutu buku. Nah itu sudah merupakan bukti nyata manfaat membaca, bukan?

Selain itu, banyak sahabat dan saya sendiri bisa menggunakan bahasa lain selain bahasa ibu, juga karena membaca. Membaca buku berbahasa asing, memaksa kita untuk membuka kamus dan mencari padanan katanya. Kita mendapat keuntungan ganda, yaitu bertambah pengetahuan sesuai dengan topik bacaan, sekaligus menambah kosakata dan ungkapan bahasa tersebut. Semakin sering berlatih membaca buku berbahasa asing, semakin lancar otak saya memahaminya. Bonusnya, dengan sekali dayung, kita juga sambal mengasah keterampilan lainnya, yaitu menulis dalam versi Bahasa asing tersebut. Asyik, kan? Ini tentu menjadi nilai tambah bagi peningkatan karier kita, atau mencari peluang pekerjaan.

Membaca Buku Mengasah Keterampilan Menganalisis |Foto: Indria Salim
Membaca Buku Mengasah Keterampilan Menganalisis |Foto: Indria Salim

4. Membaca Melatih Kemampuan Berpikir Analitis


Saat membaca, pikiran kita menjadi aktif, baik untuk mencerna maupun menganalisis isinya. Ini menjadi latihan proses berpikir kritis dan analitis. Dalam membaca buku misteri atau cerita detektif, misalnya, selama membaca tanpa sadar pikiran kita menebak-nebak kira-kira akhir ceritanya nanti bagaimana, atau menilai apakah rangkaian kejadian dalam kisahnya itu logis, dan sebagainya.

Dalam membaca novel, kita mengasah kemampuan membuat analisis semua detil ceritanya — dari plot, alur cerita, penggambaran tokohnya sampai penyelesaian kisahnya. Nah, semakin sering membaca maka semakin mahir juga kita menelaah, atau membuat penilaian dari buku yang dibaca. Ini akan sangat bermanfaat dalam penerapannya di pekerjaan sehari-hari, terlebih kalau pekerjaan itu melibatkan kemampuan membuat konsep kebijakan. Manfaat ini yang juga saya rasakan dari hobi membaca buku.

5. Membaca Bisa Melatih Kemampuan Berkonsentrasi


Saat membaca buku, saya cenderung terlarut dan berkonsentrasi penuh. Bahkan bila saya membaca di tengah keramaian sebuah toko buku, misalnya. Apalagi bila dalam keadaan tergesa-gesa, semakin fokuslah saya menyerap isi buku, dan semakin mudah saya memahaminya dengan cepat. Aneh kan? Ini tidak berlaku untuk segala situasi, jadi hanya sesekali saja.

6. Rajin Membaca Bisa Meningkatkan Keterampilan Menulis


Bagi saya, membaca buku membuat saya tertantang, tergelitik untuk bisa menulis juga. Itu bisa karena saya merasa terhubung dengan topiknya, atau saya merasa tergoda dengan rasa penasaran atas kemampuan diri untuk bisa menulis buku yang menarik minat saya. Teknik menulis kreatif berbeda dengan menulis dokumen atau kertas kerja. Alhasil, saya harus belajar, dan belajar terus dengan memperbanyak jumlah buku yang dibaca.

7. Membaca Memberi Hiburan, Mengurangi Stres, dan Memberi Ketenangan Jiwa dan Pikiran


Tentu ini berlaku bagi yang suka membaca seperti saya. Kalau sedang suntuk, atau bete dan stress, membaca bisa menjadi peredanya. Katakanlah, kita suka membaca buku motivasi, nah sambal mendapatkan pencerahan, pikiran kita yang semula stress jadi teralih pada hal yang positif. Begitu pun bila kita membaca buku lainnya sesuai minat dan impuls waktu itu. Ada novel, buku petualangan & kisah perjalanan, buku tentang mode & gaya hidup, buku kesehatan, buku komik – lho komik? Kenapa tidak? Perlahan namun pasti, stres yang semula menekan di dada akhirnya mereda, atau terlupakan.

Di sini saya mendapatkan manfaat membaca buku — menghibur, dan membuat rileks, juga menenangkan pikiran atau gejolak emosi. Terlebih bila saat membaca itu diiringi dengan musik favorit.

Mengenalkan Buku Sejak Anak Usia Dini |Foto: Indria Salim
Mengenalkan Buku Sejak Anak Usia Dini |Foto: Indria Salim

Karena itu, saya menyarankan agar kebiasaan membaca menjadi virus dalam pendidikan keluarga. Ini bisa diterapkan pada pendidikan anak-anak sejak dini.

  • Pengalaman di rumah, membacakan buku atau bahan cerita kepada anak-anak itu meningkatkan kemampuan mereka dalam memahami bacaan. Lambat laun, hal ini juga meningkatkan penguasaan kosakata mereka. Ketika anak-anak kita minta mendengarkan cerita dari sebuah buku, atau kita minta mereka membaca buku, acap kali mereka menanyakan kosakata baru, atau yang bagi mereka kurang jelas artinya. Ini menurut saya adalah proses yang berkelanjutan.

Pembiasaan ini bisa diterapkan baik untuk anak-anak balita, sampai usia menjelang remaja. Besar kemungkinan, bila ini konsisten dibimbing orang tua, maka minat baca anak akan timbul dan menjadi hobi mereka — membaca sebagai kebutuhan pribadi, tanpa harus diingatkan orang tua.

  • Sediakan buku bacaan yang sesuai, di tempat-tempat yang terjangkau anak-anak, misalnya di meja tamu, di ruang TV, di dekat kamar tidur, bahkan di mobil. Dengan pemaparan agak intens ini, maka secara langsung atau tidak akan mengundang perhatian anak-anak untuk membacanya.
  • Biasakan membaca sebagai bagian dari ritual harian. Tidak perlu lama, sekitar 20-30 menit membacakan cerita atau membuat anak-anak bercerita dari sebuah buku, itu sudah memadai asal dilakukan dengan teratur.

Sekian tentang fakta dan rahasia saya menyangkut buku. Salam Cinta Buku!

Twitter: @IndriaSalim

 

*) Tulisan ini sebagai arsip artikel Penulis, yang sebelumnya diunggah di blog Kompasiana dan menjadi artikel Headline (HL), yang bisa dilihat di SINI

Fakta & Rahasia Saya Tentang Buku [Bagian 2]

Selain buku-buku tersebut, saya juga membaca beragam artikel dari internet, dari bidang politik, sampai parenting dan gosip selebriti, dan tak terkecuali juga beberapa postingan teman-teman blogger & Kompasianer yang menambah wawasan saya.

Sejak usia sebelum sekolah, saya kebetulan sudah dikenalkan dengan makhluk bernama buku. Saya beruntung karena almarhum Ayah punya beberapa koleksi buku, dan istimewanya koleksinya terdiri dari buku dengan beragam versi bahasa.  Ada kamus bergambar & buku cerita berbahasa Inggris, lalu buku-buku cerita dan musik berbahasa Jawa, dan tentunya lebih banyak buku berbahasa Indonesia. Ibu saya kutu buku juga. Jadi beliau berlangganan majalah wanita “Mutiara”, majalah berbahasa Jawa “Panyebar Semangat“, dan Koran Kompas.

Dengan kata lain, sejak kecil kami tidak pernah lepas dari bahan bacaan, baik buku atau majalah. Dari kebiasaan ini, saya merasakan banyak manfaat membaca, antara lain:

1. Membaca Memberi Stimulasi Pada Otak, Melatih Kepekaan, Dan Meningkatkan Daya Ingat

Komplet sekali manfaat yang saya sebutkan di atas. Itu sepanjang pengalaman saya pribadi.
Meningkatkan daya ingat saya rasakan ketika membaca dan mengisi buku teka-teki silang (TTS). Memang saya sering mendengar bahwa mengisi TTS khususnya, memberikan stimulasi otak untuk mengungkap daya ingat, sekaligus mengembangkan kemampuan menambah kosakata. Sewaktu belajar dulu, salah seorang dosen saya pernah mengatakan bahwa otak punya keunikan luar biasa. Semakin sering dipakai, maka sel otak akan semakin mengadakan regenerasi. Semakin jarang dilatih aktif, di dalam bagian otak terjadi penumpukan sel mati, yang pada gilirannya akan mengurangi kemampuan daya ingat. Itu intinya.

Lalu bagaimana hubungan membaca dengan menajamkan kepekaan? Bagi saya, membaca itu membawa kita pada sebuah pengalaman khusus, pengalaman yang berbeda dengan kegiatan kita lainnya, dan ini juga termasuk pengalaman dalam emosi. Membaca bagi saya bisa menjadi sebuah perjalanan mental, spiritual, dan emosional — tergantung dari jenis bukunya. Hal ini membuat saya bisa merasakan hal baru yang tidak akan saya dapatkan tanpa membaca. Saya menjadi peka terhadap lingkungan sekitar, atau bahkan trhadap hal yang di luar jangkauan keberadaan saya saat ini, baik dalam dimensi tempat, waktu, atau pun lingkungan sosial atau sejarah.

Bayangkan saja, bagaimana dengan membaca setidaknya saya punya sedikit bayangan tentang korban diskriminasi di suatu wilayah, korbanbully yang fenomenal, atau kondisi kemiskinan atau kesulitan hidup yang sangat ekstrim.

Dengan begitu, tentu saya jadi bisa berpikir lebih jernih, lebih mendalam, dan tidak asal mengeritik pada suatu hal dalam kehidupan orang lain baik di sekitar saya, di lain tempat yang jauh. Dengan kata lain, saya bisa merasakan simpati, atau sekadar empati atas keadaan yang menimpa orang lain, atau situasi tertentu di belahan bumi lainnya.

2. Membaca Itu Meningkatkan Pengetahuan & Memperluas Wawasan

Setiap membaca, otak kita mendapat asupan informasi baru, dan sewaktu-waktu itu bisa kita gunakan pada saat yang tepat. Jadi membaca menjadi semacam kegiatan menabung informasi, yang menambah pengetahuan di memori kita. Lagian, apa yang sudah kita baca dan terserap di otak, idealnya tak akan lenyap begitu saja. Ibaratnya, kita bisa kehilangan pekerjaan, uang, harta benda, bahkan tubuh kita bisa tergerus oleh penyakit. Namun, pengetahuan yang sudah menyatu dengan kita akan setia bersama memori kita.

Saya teringat kisah sahabat seprofesi saya, yang karena penyakit kanker yang diidapnya 3 tahun lamanya, akhirnya menghabiskan harta benda dan rumah yang dijualnya buat biaya pengobatan. Namun, dengan pengetahuan profesinya, ia berjuang keras tetap bekerja, dari tempat tidurnya. Kebetulan ia adalah seorang penulis dan penerjemah. Maka kedua hal itulah yang tetap dilakukannya di tengah kenyerian hebat yang menderanya, sampai dia menyerah total pada panggilan Sang Khalik. [Bersambung ke Bagian 3]

*) Tulisan ini sebagai arsip artikel Penulis, yang sebelumnya diunggah di blog Kompasiana dan menjadi artikel Headline (HL), yang bisa dilihat di SINI 

Fakta & Rahasia Saya Tentang Buku [Bagian 1]

Perpustakaan mini
Perpustakaan mini

Seminggu terakhir ini saya membaca enam buah buku dari berbagai jenis. Baiklah langsung saja saya sebutkan keenam buku tersebut, agar lebih konkrit.

1.     Momwriter’s Diary (Dian Kristiani, Penerbit BIP, 2013): Ini buku baru dalam koleksi saya. Buku ini menambah wawasan saya tentang suka duka dan seluk beluk menjadi penulis buku. Sebuah bacaan ringan, menghibur, sekaligus bermanfaat.

2.     The Shy – Aku Melihatmu, Apa Kamu Melihatku? (Triani Retno A, Penerbit Anak Kita, 2014): Sebenarnya Novel Komik (Nomik) ini ditujukan untuk pembaca remaja. Namun banyak hal yang membuat saya menikmatinya, baik dari ide, gaya tulisan, dan pengetahuan baru yang dimasukkan oleh penulisnya dalam ceritanya. Oh ya, sebenarnya ini buku anak-anak di rumah. Selda & Sellyn dikirimi oleh editor penerbit buku ini. Sellyn (10) dan Selda (11) mendapat kepercayaan dari Editor, untuk menjadi peresensi buku ini. Ini karena sebelumnya mereka pernah menjadi pembaca pertama dari beberapa naskah novel.

3.     The Golden Rules of Success (Ben B Nur, Courage Institute, 2008): Saya beruntung mendapatkan buku ini dari penulisnya. Saya sudah membaca sebelumnya, namun karena belum tuntas, maka minggu ini saya ingin menyerap kembali manfaat buku yang inspiratif dan memotivasi diri ini. Dari buku ini, saya mendapatkan pencerahan jiwa, karena banyak ilustrasi kehidupan yang menyentuh keseharian orang pada umumnya, termasuk bagaimana menyikapi sebuah keadaan dengan tetap optimis, bijaksana dan berpikir positif. Terima kasih, Pak Ben!

4.     Favorite Fast & Easy Crosswords (PennyPress, 2010): Ini buku yang saya simpan sejak empat tahun lalu. Ketika sedang memeriksa lemari buku, saya tertarik mengeluarkannya kembali, dan mengisi teka-teki silang yang belum sempat saya selesaikan sebelumnya. Asyik lho, karena kalau kita mendapatkan kebuntuan, ada kunci jawabannya di bagian belakang buku ini. *senyum dong*

5.     Menulis Artikel dan Tajuk Rencana (Panduan Praktis Penulis & Jurnalis Profesional (drs. AS Haris Sumadiria, M.Si., Simbiose Rekatama Media, 2005)

Bukunya terbitan lama ya? Memang, namun isinya masih up to date lho. Penyakit saya, beli dulu bukunya, nah saking banyaknya tumpukan buku, akhirnya bacanya bisa setelah sekian tahun sesudahnya. Itulah keistimewaan buku, tak lekang dimakan zaman.

6.     Creative Writing (A.S. Laksana, Gagas Media, 2013): Saya sedang menekuni kembali latihan menulis kreatif. Buku ini sarat dengan pengetahuan untuk meningkatkan keterampilan menulis. Kebetulan, saya melihat Selda & Sellyn sedang membaca buku ini. Akhirnya saya ikut membaca kembali, dan berdiskusi dengan kedua anak itu. Seru lagi, belajar bersama-sama dengan anak-anak yang juga suka membaca dan menulis.

Bacaan Seminggu Ini |Foto: Indria Salim
Bacaan Seminggu Ini |Foto: Indria Salim

Apakah jumlah buku yang saya baca minggu ini sudah cukup? Saya akui, kecuali membuat resensi, saya tidak selalu membacanya dengan tuntas dan urut. Saya yang agak pembosan ini, punya pola kebiasaan membaca sesuai kebutuhan dan meloncat-loncat. Apalagi mengingat bahwa selain suka membaca, saya juga suka mengoleksi buku. Apa saja, asal menarik minat seketika itu, saya cenderung tergoda mengoleksinya. [Bersambung ke Bagian 2]

*) Tulisan ini sebagai arsip artikel Penulis, yang sebelumnya diunggah di blog Kompasiana dan menjadi artikel Headline (HL), yang bisa dilihat di SINI 

Menulis bagi Guru, Itu Keniscayaan [Bagian 2 – Tamat]

Seiring dengan kemajuan teknologi internet, saya mulai membuat blog pribadi. Lalu, hal ini saya sarankan juga pada siswa di kelas. Dari sini, timbul banyak pertanyaan siswa. Tentang manfaat dan kerugian berselancar di internet, tentang teknis membuat blog, tentang pemikiran lapangan pekerjaan di masa depan, dan hal lain yang kadang tidak terduga, diajukan oleh siswa di kelas.
Berikut saya tampilkan dua tautan blog penulis cilik, sebagai contoh nyata pengaruh budaya menulis yang ditularkan oleh guru, baik di sekolah atau pun di rumah.

www.kompasiana.com/sellynnayotama

Sellyn, siswa kelas IV-B, SD Gracia. Usia: 9 tahun. Hobi: (banyak) — membaca (paling suka), belajar menulis, bikin komik ngasal, belajar piano, sepedaan

www.kompasiana.com/seldasellyn

Selda, siswa SD Gracia, berusia 10 tahun. Kutubuku yang belajar menulis dan main piano.
Suatu keuntungan, sebelum menjadi guru, saya mendapatkan pengalaman dan keterampilan menulis dari pekerjaan di kantor sebelumnya. Maka, begitu ada kesempatan mengajar, saya melihat bahwa siswa seharusnya menjadi penerima utama manfaat pengalaman saya menulis. Dunia pengajaran dan pendidikan, sangat erat hubungannya dengan kegiatan menulis dan membaca. Guru dan Kepala Sekolah hendaknya menjadi agen utama yang menanamkan budaya menulis dan membaca.

Guru perlu meningkatkan keterampilan menulis, a.l. dengan ikut workshop penulisan. |Foto: Indria Salim
Guru perlu meningkatkan keterampilan menulis, a.l. dengan ikut workshop penulisan. |Foto: Indria Salim

Konsekuensinya, agen utama berkewajiban memiliki kemampuan yang kuat agar bisa mentransformasikan pengetahuan dan keterampilan menulis dan membaca para siswa. Sungguh menyedihkan, bila siswa diharapkan mengalami perkembangan dan peningkatan kecerdasan, sementara guru mereka tidak memeliki keterampilan memadahi dalam mengamalkan ilmu dan pengetahuan yang diajarkan.

Guru — termasuk Kepala Sekolah, berperan sebagai panutan, menjadi contoh nyata dalam kata, sikap, dan tindakan, sekaligus pemimpin yang mengarahkan siswa —  menyiapkan diri menyongsong masa depan penuh kemandirian & percaya diri.

Menulis, dan membaca menjadi bagian integral dan persyaratan utama seorang guru ideal. Menulis bukan saja untuk menjadi penulis. Menulis semakin nyata menjadi bagian dari ilmu kehidupan, seumur hidup. Maka, hanya guru yang menulis, akan lebih menghayati pengalaman dan pengetahuan hal ini, dan mampu membimbing para siswa agar menulis sebagai kebiasaan sehari-hari. Ini sangat efektif bila guru sendiri bisa menampilkan bukti nyata bahwa menulis adalah kesehariannya.
Menugaskan murid menulis, sementara guru tidak menulis adalah hal yang timpang, dan tidak bisa diharapkan hasilnya secara optimal.Menulis bagi guru adalah keniscayaan. Menulis bagi murid adalah pengharapan, dan idealnya kesenangan yang mencerdaskan.
Artikel ini penulis ikut sertakan dalam lomba menulis yang diadakan oleh Program Tanoto Foundation. |Twitter: @IndriaSalim

*) Tulisan ini sebagai arsip artikel Penulis, yang sebelumnya diunggah di blog Kompasiana dan menjadi artikel Headline (HL), yang bisa dilihat di SINI

Menulis bagi Guru, Itu Keniscayaan [Bagian 1]

foto5-1-menulis bagi guru-1
Keterampilan Menulis Bukan Hanya Buat Penulis Buku

Berbagi gagasan dan pengalaman melalui tulisan, saya terapkan di kelas-kelas di mana saya mengajar beberapa mata pelajaran. Ini merupakan latihan yang penting, dan menjadi alat pemantauan kemajuan siswa dalam belajar bahasa. Setiap sesi, saya menugaskan siswa membuat sebuah karangan pendek, dengan topik yang sesuai dengan rencana kurikulum yang ada. Pada pelajaran berikutnya, mereka saya minta membacakan tulisan masing-masing, di depan kelas. Kadang, mereka saya minta menulis skenario drama, dan secara kelompok, mereka memeragakan drama yang mereka tulis sendiri.

Sesudah itu, kelas akan saya minta memberikan umpan balik atas penampilan masing-masing. Para siswa bisa memberi kritik, komentar, atau mengajukan pertanyaan. Ini saya lakukan dalam mata pelajaran apa pun yang menjadi bidang studi penugasan saya.
Pada awal proses penugasan menulis, siswa kesulitan mengungkapkan gagasan sejak kalimat pertama. Banyak yang mengalami kebuntuan. Lalu saya berkeliling ke setiap bangku, dan membimbing mereka dengan cepat — secara individual selama sesi berlangsung.
Lambat laun, siswa memilih memanfaatkan saat istirahat, dengan berbincang di dalam kelas, atau di kantin, tentang latihan menulis mereka. Ada beberapa siswa yang kemudian mengembangkan kebiasaan menulis jurnal, dengan tulisan tangan. Ini menyentuh sekali. Perubahan sikap siswa sungguh menggembirakan. Dari yang semula sangat cuek, menjadi sangat antusias, dan saya memanfaatkan pemetaan kelas, yang satu dengan kelas lainnya memiliki situasi berbeda.

Ada siswa yang gagap bicara, saya motivasi untuk membacakan saja tulisannya di depan kelas. Ada siswa yang paling cerdas dan cepat menangkap instruksi, aktif mengajukan pertanyaan beberapa langkah lebih maju dari rekannya. Siswa yang lebih cerdas, saya motivasi untuk menyemangatkan dan membimbing teman-teman di kelompoknya.

Usaha ini lambat laun menunjukkan hasil. Siswa menikmati pelajaran saya, dan mereka tidak lagi takut mengungkapkan kesulitan, atau mengajukan pertanyaan yang sedikit di luar topik mata pelajaran di kelas.
Bagi siswa, tugas menulis menjadi ajang menyalurkan perasaan dan pemikiran mereka. Saya menggunakan hal ini untuk memotivasi mereka agar menjadi anak yang mandiri, kreatif, percaya diri, kritis, analitis, dan setia kawan. Ada keceriaan saat menugaskan siswa membahas sebuah tema tertentu, dan menuangkannya kembali menurut pemikiran mereka. Ini memang perlu perhatian ekstra. Saya selalu pulang membawa setumpuk lembaran pekerjaan menulis siswa. Namun, semakin saya meneliti tulisan para siswa, semakin saya tergerak untuk mendorong mereka cinta menulis. Sungguh menyedihkan bila seorang pelajar tidak bisa menulis, bahkan hanya dua atau tiga paragraf untuk menceritakan kejadian atau situasi khusus di tempat tinggal masing-masing.
(Simak sambungan artikel ini di Bagian 2)

Guru mencoba pengalaman menulis di platform berbeda. Ini bisa menjadi daya tarik khusus bagi siswa, melatih ketekunan, keberanian mencoba hal baru yang positif, dsb. |Foto: Dokpri
Guru mencoba pengalaman menulis di platform berbeda. Ini bisa menjadi daya tarik khusus bagi siswa, melatih ketekunan, keberanian mencoba hal baru yang positif, dsb. |Foto: Dokpri
foto5-3
Menulis di sekolah, menulis di rumah. Sellyn (6 tahun), suka menulis karena Bu Guru |Foto: Indria Salim
Dari guru, siswa mulai suka menulis |Foto: Indria Salim
Dari guru, siswa mulai suka menulis |Foto: Indria Salim

*) Tulisan ini sebagai arsip artikel Penulis, yang sebelumnya diunggah di blog Kompasiana dan menjadi artikel Headline (HL), yang bisa dilihat di SINI 

[Resensi] Revolusi Desa Memadukan Prinsip Kearifan Lokal dan Good Governance

foto4-1-resensi desa

Buku “Revolusi dari Desa – Saatnya dalam Pembangunan Percaya Sepenuhnya kepada Rakyat”, mengenalkan suatu pendekatan yang luas cakupannya. Konsep GERDEMA (Gerakan Desa Mandiri), adalah hasil buah pikiran dan pengalaman pengarang, yang juga praktisi birokrasi di Kabupaten Malinau, Kalimantan Utara. Pengalaman pengarang dimulai sejak menjadi Camat, kemudian Sekretaris Daerah, dan sejak tahun 2012, Bupati Malinau (2012-2016) ini — Dr Yansen TP., M.Si. membuat sebuah inovasi yang meraih penghargaan dari Kementerian Dalam Negeri. Pengarang memaparkan paradigma terobosan, melalui berbagai perbandingan konsep dan paradigma pembangunan pedesaan yang pernah ada, dan diterapkan di Indonesia.

Buku ini menekankan perhatian khusus pada pemberdayaan masyarakat desa, dengan menimbulkan kesadaran, dan penggalangan partisipasi penduduk, dan semua yang terlibat dalam pembangunan desa. Dijelaskan pula dalam buku ini, bahwa patisipasi penuh masyarakat desa sebagai bentuk kemandirian mereka, akan diharapkan menjadi kepuasan terbesar penduduk desa, dan itu mencakup pemenuhan tujuan suatu program pembangunan desa.

Inovasi yang terbingkai dalam konsep GERDEMA ini, mengenalkan gagasan, bahwa keberhasilan dari program pengembangan daerah, dimulai dari desa, dengan prinsip dari, untuk dan oleh warga desa. Karenanya, keberhasilan program dengan paradigm konsep GERDEMA, juga ditentukan oleh identifikasi, penetapan dan perencanaan pemenuhan kebutuhan berdasarkan keterlibatan masyarakat di desa yang bersangkutan. Setiap desa memiliki potensi, keunggulan, kelemahan, dan kendala yang berbeda-beda satu sama lain.

Prinsip-prinsip dasar Negara Pancasila, UUD 1945, dan Bhinneka Tunggal Ika, menurut pengarang, sangat cocok dengan apa yang sudah diterapkan di Malinau dalam program Gerakan Desa Membangun (GERDEMA). GERDEMA adalah paradigma baru dalam membangun masyarakat desa. Itulah sebabnya, GERDEMA disebut juga sebagai gerakan Revolusi dari Desa. Dalam konsep GERDEMA, masyarakat ditempatkan sebagai kekuatan utama dalam pembangunan.
Tiga hal yang menjadi esensi konsep GERDEMA: Gerakan itu berasal dari rakyat; dilakukan oleh rakyat, dan menghasilkan manfaat untuk masyarakat desa. Di sini, desa terlibat langsung dalam evaluasi, pemetaan, dan mengartikulasikan potensi serta permasalahan di desa untuk ditetapkan sebagai materi perencanaan melalui mekanisme kerja Lembaga Pemberdayaan dan Partisipasi Pembangunan Masyarakat Desa (LP3MD).
Karenya, Konsep GERDEMA mensyaratkan adanya praktik otonomi – – – dan inilah yang sebenarnya menunjukkan semangat pembangunan yang sering disuarakan oleh para pemimpin dan kebanyakan orang, yaitu dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat.
“Malinau tidak hanya menjadikan hal itu sebagai wacana, namun mempraktikkan dan membuktikan keberhasilannya. Kami sangat yakin bahwa sumber kekuatan pembangunan datang dari rakyat, yang pengelolaannya dikerjakan dan ditangani berdasarkan karakteristik kearifan lokal masyarakat desanya dan hasilnya secara langsung dinikmati oleh rakyat desa itu sendiri. Inilah yang harus menjadi roh dan semangat dari undang-undang dan aturan tentang desa.”
GERDEMA menekankan pentingnya faktor  peranan kepemimpinan, selain faktor penting lainnya.  Namun, faktor kepemimpinan memiliki bobot lebih dalam bukunya ini, terbukti dari beberapa penjelasan dengan berbagai sudut telaah analisisnya. Memang, kepemimpinan itu menentukuan keberhasialan sebuah misi besar. Dan ini menjadi bagian dari reformasi birokrasi dan good governance — hal yang juga dimuat dalam buku Bupati Yansen.

Dalam beberapa bagian penjelasannya, tertuang adanya pemikiran penulis tentang kepemimpian dan komitmen banyak pihak di desa, yang harus dilibatkan dalam konsep GERDEMA. Bagaimana konsep GERDEMA bisa diterapkan di wilayah lain, desa-desa di Indonesia lainnya, dengan memastikan terpilihnya figur-figur yang memiliki komitmen dan kepemimpinan sesuai dengan tuntutan reformasi birokrasi untuk mengembangkan desa yang aman dan sejahtera.

GERDERMA mengajak seluruh perangkat pemerintahan di desa, untuk meningkatkan kualitas dan kinerja mereka, dalam memberikan pelayanan publik.  Untuk itu, pemimpin dengan visi yang kuat, dan berkomtmen serta berintegritas tinggi, perlu menularkan budaya pelayanan publik yang berorientasi kepada kebutuhan masyarakat di desa yang bersangkutan (service delivery culture).

“Praktik otonomi inilah yang sebenarnya menunjukkan semangat pembangunan yang sering disuarakan oleh para pemimpin dan kebanyakan orang, yaitu dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat.”

“Malinau tidak hanya menjadikan hal itu sebagai wacana, namun mempraktikkan dan membuktikan keberhasilannya. Kami sangat yakin bahwa sumber kekuatan pembangunan datang dari rakyat, yang pengelolaannya dikerjakan dan ditangani berdasarkan karakteristik kearifan lokal masyarakat desanya dan hasilnya secara langsung dinikmati oleh rakyat desa itu sendiri. Inilah yang harus menjadi roh dan semangat dari undang-undang dan aturan tentang desa.”

Revolusi dari desa, mensyaratkan beberapa ciri utama, antara lain keterlibatan aktif semua warga desa yang terdiri dari berbagai elemen, dalam peran setara, namun memiliki beragam fungsi sesuai potensi masing-masing.

Urusan pembangunan desa, bukan merupakan urusan pemerintah pusat atau pemerintah daerah yang lebih tinggi tingkatannya, namun ini ditumpukan pada urusan dari, oleh, dan untuk rakyat.

Pembangunan desa, membuka kesempatan seluasnya keterlibatan berbagai pihak, dengan kolaborasi dan sinergi, dan koordinasi terpadu dari berbagai elemen, termasuk penduduk desa, aparat desa, lembaga swadaya masyarakat, lembaga kemitraan, dan pihak swasta.

Kekuatan dan tanggung jawab pembangunan desa, berlandaskan penegasan otonomi desa, sebagai bagian dari otonomi daerah yang terdesentralisasi. Partisipasi dan pemberdayaan masyarakat desa dalam pembangunan desa, membutuhkan beberapa pusat kegiatan, dan seluruh pihak yang terlibat melaksanakan peran dan fungsi masing-masing sesuai potensi, keunggulan, dan antusiasme maksimal.

Ini semua dikoordinasikan dan didukung dengan pemimpin yang memiliki karakter kepemimpinan yang kuat. Kepemimpinan yang kuat, bercirikan integritas, ketegasan, pengabdian, kejujuran, sifat altruistik, kemampuan dan pemahaman tentang tanggung jawab dan perannya sebagai tokoh panutan, kemampuan managerial, dan kemampuan menciptakan budaya semangat pembangunan dan kemandirian di lingkungannya, dalam ini di wilayah desa setempat.
Dalam Gerdema, ada semangat demokrasi yang menjadi salah satu pilar terciptanya sinergi dan kolaborasi.
Pada akhirnya, konsep GERDEMA membuka kesempatan seluasnya agar partisipasi aktif dan total unsur masyarakat desa, saling berbagi, saling membuka diri menambah wawasan baru, dengan kepemimpinan yang tidak bertumpu pada ego pribadi atau kelompok, namun berfokus pada rasa tanggung jawab dan rasa memiliki yang berorientasi pada pengambilan keputusan, penentuan rencana kegiatan, dan target dengan hasil kerja yang berkualitas: masyarakat sejahtera dan damai.

Dari semua prinsip-prinsip pemberdayaan dan semangat revolusi desa yang disarankan oleh Konsep GERDEMA, partisipasi aktif masyarakat desa, serta kepemimpinan yang kuat — merupakan faktor mutlak dan terpenting. Hal ini tidak menafikan pentingnya faktor pendukung lain yang akan melancarkan dan menentukan keberhasilan program pembangunan desa, yaitu: kecukupan dana dan sumber daya lainnya, semangat bekerja suka rela, dan semangat keterbukaan tanpa meniadakan identitas dan nilai-nilai budaya lokal. Inilah yang oleh pengarang buku ini, juga dikaitkan dengan prinsip tata kelola pemerintahan yang baik (good governance).
Kekuatan konsep GERDEMA, adalah dalam memadukan antara nilai-nilai kearifan, dengan prinsip modern good governance. Ini jelas merupakan modal sosial dalam pembangunan, khususnya pembangunan desa.
Kekuatan konsep GERDEMA, juga dalam hal penekanan pentingnya pemimpin dengan kecerdasan nasionalis kebangsaan juga akan menjamin penguatan karakter kita dalam mencintai bangsanya melalui pembangunan. Indonesia adalah negeri yang kaya akan keberagaman. Kekayaan itu harus menjadi kekuatan dan rahmat, bukan sebaliknya.
Konsep GERDEMA menjanjikan bukan sekadar keberhasilan pembangunan secara fisik, namun juga membentuk nilai hakiki, yang memandang pentingnya nilai persatuan, dan perilaku toleransi hidup pluralis yang konsisten.
Dalam hal ini penulis berpendapat bahwa UU No. 6 ini masih belum secara tegas memberikan peran otonom kepada desa untuk terlibat aktif dalam urusan pemerintahan dan pembangunan. Penulis mengemukakan bahwa otonomi desa harus dijalankan, karena ia melihat semangat masyarakat yang tinggi, untuk membangun desanya. Bakan penulis memandang perlunya kedudukan desa yang dipertegas sebagai daerah otonom.

Bagaimanapun, konsep Gederma lahir dari perenungan dan keprihatinan mendalam Bupati Malinau Yansen, terkait dengan Undang Undang No. 6 Tahun 2014 Tentang Desa beserta penjelasannya. Udang-Undang ini merupakan paket regulasi yang timbul dari  revisi UU No. 32 Tahun 2004 yang melahirkan 3 Undang-Undang baru antara lain UU Desa, Pemerintah Daerah, dan Pemilukada.

Sebaiknya kita sadari, bahwa pemerintah pusat sendiri masih harus menuntaskan dua produk UU lainnya, yaitu Pemda & Pemilukada — suatu hal yang langsung atau tidak langsung juga perlu dielaborasikan secara seksama.

Sedikit disayangkan, bahwa konsep pengembangan desa dengan paradigma GERDEMA sama sekali tidak membicarakan kemungkinan adanya tuntutan formalisasi dan birokratisasi perangkat desa. Konsep ini tidak mempertimbangkan kemungkinan terjadinya krisis ekonomi, yang pada suatu ketika bisa  menimbulkan masalah tuntutan perangkat desa untuk menjadi PNS. Dalam seluruh penjabaran konsepnya, masih perlu dielaborasi lebih lanjut, agar tidak terkesan normatif.

Tiada gading yang tak retak. Dalam buku ini ditemukan beberapa pengulangan pembahasan, antara lain tentang kepemimpinan. Ada juga pembahasan dan penjelasan yang terkesan ‘bolak-balik’. Yang sebaiknya dibahas di bab awal, justru dibahas di bab akhir. Contohnya, pada paragraf yang menjelaskan tentang pengertian desa. (hal. 106) —  “Struktur organisasi pemerintahan desa yang berfungsi menyelenggarakan pemerintahan sebagaimana prinsip-prinsip di atas dapat digambarkan sebagai berikut: 1. Badan Permusyawaratan Desa; 2. Kepala Desa; 3. Sekretariat Desa; 4. Seksi-Seksi (Kepala Urusan) terdiri dari Seksi (Kaur) Pemerintahan; Seksi (Kaur) Pemberdayaan Masyarakat; Seksi (Kaur) Pelayanan dan Pemeliharaan Prasarana; Seksi (Kaur) Ketenteraman dan Ketertiban; dan Seksi (Kaur) lainnya.

Mengingat pentingnya kebutuhan inovasi pembangunan daerah dan desa, buku ini layak direkomendasikan sebagai acuan program pembangunan desa, terlebih dengan tujuan keberhasilan pelaksanaan UU No. 6/2014 tentang Desa, yang oleh pengarangnya, diharapkan akan mempertegas pembentukan otonomi desa.

Buku ini berharga buat pembelajaran para kepala daerah, pemangku kepentingan, mereka yang terjun di bidang pembangunan desa, dosen, dan mahasiswa. Semoga semua bisa memanfaatkan karya Bupati Malinau yang luar biasa ini, dan akan terus menjadi inspirasi untuk membangun desa secara mandiri, berkesinambungan, dan berhasil serta berdaya guna nyata.  ***** Twitter: @IndriaSalim

Penulis             : Dr Yansen TP., M.Si.

Editor                : Dodi Mawardi.

Penerbit           : PT Elex Media Komputindo.

Halaman          : xxviii + 196 halaman

Tahun              : 2014

ISBN               : 978-602-02-5099-1

*) Tulisan ini sebagai arsip artikel Penulis, yang sebelumnya diunggah di blog Kompasiana dan menjadi artikel Highlight (HLt), yang bisa dilihat di SINI 

Membaca Itu Modal Menulis

Membaca untuk Menulis
Membaca untuk Menulis

Ingin menulis namun pikiran buntu? Bacalah sesuatu, buku, majalah, koran, berita di internet, atau bahkan jurnal lama tulisan Anda sendiri.

Writer’s block ada yang menjadikannya kendala atau alasan tidak melakukan kegiatan menulis. Hal ini bisa melanda siapa saja, baik penulis pemula atau penulis dengan banyak karya yang sudah dipublikasikan. Kok tahu kalau penulis berpengalaman juga mengalaminya? Itu karena ada kisah mereka di blog atau terungkap di suatu media.

Lalu apa hubungannya dengan tulisan di sini?
Writer’s block, oleh sebagian penulis tidak diakui kejadiannya. Kata mereka, “Ah itu alasan yang dicari-cari. Mungkin itu hanya kemalasan atau tidak bisa mengatasi kedisiplinan menulis.”

Ada seorang teman yang sangat kuat disiplinnya dalam menulis sebagai kegiatan penting untuk menghasilkan karya. Dia bilang, “Kuakui kadang ada saatnya aku merasa ‘nge-blank’. Seharusnya aku menulis, karena ini jadwal rutin. Target sudah jelas, tema sudah ada. Mendadak kok aku tidak tahu apa yang harus ditulis.”
Teman itu (sebut saja A), melanjutkan ceritanya, “Tapi jangan salah, inilah tantangan yang harus ditaklukkan — bukan dihindari. Aku punya beberapa cara menyiasati kebuntuan. Kutinggalkan sebentar meja kerja, melongok ke halaman dan bertegur sapa dengan siapa saja yang kujumpai di luar kamar kerja. Bisa juga, kuambil satu atau dua buku dari koleksi di lemari, kubaca acak halamannya, dan “klik” – pikiranku jadi terang dan tamatlah episode otak buntu.”

Membaca memberi asupan materi menulis

Banyak membaca memberikan wawasan baru, memperluas cakupan kemungkinan yang bisa kita tulis, dan memperdalam pengetahuan tentang suatu hal. Ini akan membantuk kita menjadi penulis yang lebih baik, bukan karena kita menjadi peniru dari apa yang kita baca – namun memberikan perspektif yang memperkaya nuansa tulisan kita.

Ini bisa berarti bahwa bila kita membaca buku tertentu, dan secara khusus kita memerhatikan dan mempelajari gaya penulisan seorang pengarang buku dengan genre tertentu, misalnya, maka kita mendapatkan pemahaman tentang genre yang kita tulis.

Membaca dari ahlinya

Seperti pada kebanyakan keterampilan, menulis pun sebaiknya dimungkinkan dengan belajar dari buku yang ditulis oleh maestro. Tentu ini bukan hal mutlak dan satu-satunya cara. Setidaknya, mencermati dan mengalami proses membaca dari buku yang baik, bisa memberikan kontribusi contoh penulisan yang baik.

Ada banyak manfaat membaca buku yang bermutu, atau tepatnya dari penulis yang baik, yaitu dalam hal mencontoh dari orang yang berpengalaman — misalnya: mempelajari kelancaran menulisnya, pemilihan diksi, pengayaan kosakata, mendapatkan informasi dan pembelajaran baru, mempelajari struktur kalimat yang baik dan benar, mengembangkan daya pikir, dan sebagainya.

Demikian tips singkat tentang menulis kali ini.| Twitter: @IndriaSalim

*) Tulisan ini sebagai arsip artikel Penulis, yang sebelumnya diunggah di blog Kompasiana dan menjadi artikel Headline (HL), yang bisa dilihat di SINI 

[Sosok] Penulis Buku Keren “Anak Bukan Kertas Kosong”

Mas Bukik dan putrinya, Damai |Foto: Dokpri Bukik
Mas Bukik dan putrinya, Damai |Foto: Dokpri Bukik

Budi Setiawan, alias Bukik, menerbitkan buku terbarunya, “Anak Bukan Kertas Kosong” (ABKK). Ia adalah seorang fasilitator, penulis buku, blogger, dan khususnya — Kompasianer.

Selain profesinya sebagai penulis, Bukik adalah pegiat dan penggiat gerakan pendidikan  seperti Indonesia Bercerita dan Bincang Edukasi. Ia juga penggagas Suara Anak, sebuah forum yang memberi kesempatan pada anak-anak usia 7-15 tahun untuk bercerita tentang pengalaman dalam menekuni kegemaran atau bakat mereka.

Pada tahun 2013, Bukik meluncurkan aplikasi pendidikan berjudul Takita yang menggunakan sistem operasi iOS 7 (iPhone dan iPad). Takita digunakan untuk mengetahui jenis kecerdasan anak yang dikembangkan berdasarkan teori Kecerdasan Majemuk (Multiple Intelligences) Howard Gartner.

Penulis buku ABKK yang pernah menjadi dosen di Fakultas Psikologi – Universitas Airlangga ini, mengaku belajar banyak dari putri-nya yang bernama Damai (9 tahun), dalam proses pengasuhannya sebagai ayah. Keseharian pengalamannya ini lalu dituangkan dalam karya buku yang terbaru itu. Bukik menekankan prinsip pola pengasuhan dengan cara menerima “bawaan anak apa adanya”. Ia membagi pemikiran dan pengalamannya dalam menerapkan pendekatan apresiasi atas keistimewaan anak, dan di pihak lain — menunjukkan penerimaan atas kelemahan anak. Diakuinya, ini tidak selalu mudah dijalani.

Buku ABKK adalah hasil dari serangkaian pembelajaran, riset, penggalian, dan pengamatan dari pengalaman penulisnya sendiri, pengalaman orang tua yang lain, dan prinsip pendidikan yang diajarkan oleh Ki Hajar Dewantara. 

Anak Bukan Kertas Kosong
Anak Bukan Kertas Kosong

Pemahaman Bahwa Setiap Anak Itu Istimewa

Setiap anak terlahir dengan potensinya masing-masing. Dalam penuturan bergaya ringan, buku ABKK memberi penjelasan mendalam, bagaimana orang tua bisa menemukan potensi anak mereka. Dengan demikian, suatu usaha pengembangan anak akan menjadi proses yang menakjubkan bagi kedua belah pihak.

Bukik menggali ajaran Ki Hajar Dewantara, dan menemukan warisan konsep berharga yang menjawab kegelisahannya tentang pendidikan anak, dan bagaimana mengantar anak-anak menyongsong masa depan mereka. Maka, dalam gagasan dan praktik pendidikan Ki Hajar Dewantara. Bukik menangkap adanya tiga pemikiran pokok *), yaitu:

Pertama, bahwa setiap anak itu istimewa. Anak mempunyai kodratnya sendiri yang tidak bisa diubah oleh pendidik. Pendidik hanya bisa mengarahkan tumbuh kembangnya kodrat tersebut.

Kedua, Belajar bukan semata memasukkan pengetahuan ke diri anak. Maka, belajar adalah proses membentuk pengetahuan, mengonstruksikan dan pemahaman.

Ketiga, pentingnya peran keluarga dalam pendidikan anak. Keluarga adalah pusat pendidikan. Peran orang tua dalam hal ini, tidak tergantikan oleh pihak mana pun, baik itu sekolah, lembaga pendidikan atau lainnya. *) — (ABKK, hal. xxiv)

Penulis beruntung sudah membaca buku ABKK ini. Berikut adalah hal-hal yang membuat penulis bersemangat membaca buku ABKK.

Buku ini sangat bermanfaat, karena menambah wawasan tentang konsep-konsep pendidikan, sekaligus menjadi panduan praktis pengembangan bakat anak.

Buku ini memberi keasyikan membaca, karena cara penyajian yang penuh warna, berdasarkan penjelasan ilmiah, praktis dan bisa diterapkan di rumah dan oleh diri sendiri, bisa dibagikan ilmunya ke teman-teman yang bergelut dengan pendidikan anak.

Buku ini memberikan hiburan bermutu, dalam kemasan yang funky, populer, tata letak menarik dan huruf yang nyaman dibaca.

Buku ini disajikan dengan gaya bahasa dan penuturan yang mengalir dan membuat pembaca ingin terus mengetahui lebih lanjut dari setiap halaman dan isinya.

Buku ini memberikan bonus berupa Poster “8 Kecerdasan Majemuk”, Poster “Stimulasi Anak Berdasarkan Kecerdasan Majemuk”, dan Poster “Pengenalan Kecerdasan Majemuk”.

Selain yang sudah disebutkan di atas, masih banyak hal yang sangat menarik yang tercakup sebagai satu paket bacaan buku sarat manfaat.  Untuk lengkapnya, silakan simak lebih lanjut di SINI dan di SINI .

Salam Kompasiana!  |@IndriaSalim

Catatan: Tulisan ini dimaksudkan sebagai apresiasi atas hadirnya ABKK — sebuah buku yang perlu direkomendasikan kepada Anda yang ingin menyiapkan anak agar kelak bisa mandiri dan bahagia

Referensi: Buku “Anak Bukan Kertas Kosong”http://buku.temantakita.com/

http://rumahinspirasi.com/bukik-takita-dan-aplikasi-pendidikan/

*) Tulisan ini sebagai arsip artikel Penulis, yang sebelumnya diunggah di blog Kompasiana dan menjadi artikel Highlight (HLt), yang bisa dilihat di SINI  

[Resensi Buku] I’m (Not) Perfect

[Resensi Buku] I’m (Not) Perfect

OPINI | 01 October 2013 | 08:56 Dibaca: 283   Komentar: 6   5

Judul       :       I’m (Not) Perfect — Walaupun Tidak Sempurna, Perempuan Tetap Bisa Bahagia

Penulis    :       Dian Kristiani
Genre      :       Non-Fiksi/ Inspirasional, 2013

Penerbit   :     PT Gramedia Pustaka Utama

Halaman  :      153 halaman

Harga  :           Rp 38.000,-

Peresensi:      Indria Salim

“Hormatilah suamimu, meski penghasilanmu jauh lebih tinggi dibandingkan dengan dia.” ―(Hal. 125)

Kalimat di atas saya kutip dari buku berjudul I’m (Not) Perfectkarangan Dian Kristiani. Saya kadang mendengar ada ibu-ibu terang-terangan membanggakan penghasilannya yang jauh lebih tinggi dari suaminya, dan karenanya ibu itu menjadi seorang pencari nafkah utama meskipun suaminya tampak baik-baik saja. Bagaimana dengan perasaan suaminya kalau ia tahu bahwa peran dan posisinya dalam rumah tangga terpaparkan melalui warta berita istrinya? Dalam bab yang berjudul “Penghasilanku Lebih Tinggi” (hal 125 – 129), saya terharu membaca solusi konflik rumah tangga karena masalah penghasilan sebuah keluarga.

Baiklah, kutipan berikut ini mungkin akan membawa kita pada sebuah kesadaran bahwa dalam kehidupan, ada hal-hal yang di luar kendali diri kita, sedihnya lagi mungkin kita juga harus menerima dan menghadapi situasi yang tidak kita inginkan sama sekali. Berpijak pada pemikiran itu, maka kita akan tahu alasan mengapa ungkapan berikut ini saya angkat di sini.

“Maafkan aku, teman-temanku. Maafkan aku, untuk semua perempuan di luar sana, yang menyandang predikat single karena perceraian, atau kematian. Kita sama-sama perempuan. Kita punya kelebihan dan kekurangan masing-masing. Takdirlah yang membawa kalian menyandang predikat tersebut. Kita tak pernah tahu takdir kita. Hari ini kita melancarkan black campaign terhadap para janda. Esok hari, kita pun bisa menjadi janda.” – Judul bab: Masih Gadis atau Sudah Janda? (Hal. 94)
****
Ibu kehilangan ayah saya sejak beliau berusia 45 tahun. Saya dan adik-adik saya menjadi anak yatim saat adik bungsu saya berusia 3 tahun, sementara kami adalah sembilan bersaudara. Lantas tentu sungguh sulit bagi ibu saya melanjutkan kehidupannya sebagai seorang guru SD yang berperan ganda sebagai orang tua tunggal yang harus membesarkan kami bersembilan. Di luar masalah ekonomi, ada tantangan psikologis yang harus dihadapi karena adanya kecurigaan sana sini dari tetangga, dan beberapa teman dan kenalan yang menjadi bagian dari komunitas sosial kami waktu itu. Nah, semua pernak pernik kerikil perjalanan hidup ibu saya terwakili di buku ini.

Perempuan memiliki peran yang berbeda satu sama lain, entah itu dilihat dari status sosialnya, perspektif pemikiran dan nilai-nilai kehidupannya, juga dalam keberadaannya di tengah-tengah masyarakat dengan tolok ukur dan norma berbeda: kebudayaan tertentu, latar belakang sosial, ekonomi dan kehidupan spiritual dan sebagainya.
Perempuan yang demikian itu bisa saja sebagai seorang anak, ibu, nenek, istri, profesional, teman, atau mahasiswa. Dalam status perkawinan, ia bisa saja disebut seorang perempuan lajang, menikah, janda, sahabat atau pacar.
****
Perempuan itu unik dalam sifat, penampilan lahiriah, dan peran masing-masing individunya. Namun, wanita punya keterhubungan bersama. Hal yang mengikat perempuan adalah persamaan dalam hal pengalaman hidup tertentu, dalam hal mencintai dan mempelajari kehidupan, dalam merasakan kelembutan cinta, menempa persahabatan seumur hidup mereka, mengejar karier yang dipilih, melahirkan kehidupan baru, dan dalam memikul tanggung jawabnya sebagai seoang profesional, pekerja atau pun anggota keluarga.

Kumpulan 28 Kisah Nyata (foto: album Dian Kristiani)
Kumpulan 28 Kisah Nyata (foto: album Dian Kristiani)

I’m (NOT_ Perfect, sebuah kumpulan cerita pendek yang berhasil membuat saya penasaran saat kebetulan melihatnya terpajang di rak buku “Pengembangan Diri” di toko buku Gramedia terdekat. Pertama saya membuka halaman daftar isinya, ada dua-puluh delapan judul yang menurut saya menarik sekali. Membaca halaman pertamanya membuat saya langsung memutuskan membeli buku itu.

Buku ini menyajikan kisah-kisah keseharian hasil “rekaman berbagai curahan hati Penulis sebagai ibu, istri, anggota masyarakat, dan makhluk Tuhan.” Yang saya suka tentang buku ini antara lain karena bahasanya yang lancar, mengalir, dan akrab dengan pembaca. Pengungkapan ceritanya bernada penuh humor, apa adanya dan seperti mengajak pembaca seakan sedang berhadapan langsung dengan penulisnya. Kekuatan buku ini antara lain juga pada kemampuan penulis mengorganisasikan gagasannya dengan gamblang, lugas, runtut dan jernih, tanpa mengurangi kerapian tata tulis bahasanya.
****
Kisahnya bisa dikelompokkan dalam topik perempuan jomblo, ibu rumah tangga, pekerja atau karyawan, ibu atau orang tua, seorang isteri, seorang makhluk spiritual, atau seorang ibu mertua, dan semua itu tergambarkan dalam dengan kegiatan-kegiatan yang “biasa”.
Ini kisah nyata yang bisa kita alami atau saksikan di lingkungan tetangga, tempat kerja, kantor, atau pun komunitas kita. Sebagian besar adalah persoalan itu-itu saja, antara lain misalnya tentang orang belum punya anak, orang belum menikah, menjadi janda, ibu menyusui, perempuan menjadi gemuk, kurus atau langsing, perempuan pekerja malam dan lain-lainnya.

Mungkin ini potret perempuan dalam kehidupan yang cenderung menerapkan standar ganda dalam hal nilai dan moralitas masyarakatnya.
Boleh dikatakan cakupan topiknya klise, karena mungkin Anda pun tidak jarang mendengar pembicaraan atau pemikiran tentang kisah dalam buku ini. Itu pandangan saya kalau harus menemukan “kelemahan” buku ini. Namun bukan benar-benar kelemahan namanya, kalau di tangan penulis kelahiran Semarang ini “topik dan materi klise” berhasil diolah dan disajikan menjadi bacaan ringan yang faktual dan inspiratif.
****
Banyak orang punya pengalaman atau gagasan sama tentang satu atau banyak hal, tapi untuk menjadikannya sebagai sebuah karya dari pengamatan tersebut, yang bisa dinikmati dengan asyik, menyentuh kehidupan orang banyak — nah ini keahlian Penulis yang terbukti menghasilkan bacaan renyah tapi cukup serius pesannya. Pantas saja kalau Dian Kristiani adalah seorang penulis produktif yang buku-bukunya sudah diterbitkan oleh penerbit besar di Indonesia.
Buku ini membuka mata hati kita terhadap pentingnya menghargai diri sendiri dan orang lain (baca: perempuan), karena semua punya alasan dan hak menjadi diri sendiri. Memahami orang lain dengan lebih baik dalam berbagai situasinya akan membuat kita merasakan kehangatan di hati, menyemangati diri untuk bisa melakukan apa saja, mengatasi hambatan dan tantangan dalam perjalanan kehidupan yang tidak selalu mulus.

I’m (NOT) Perfect adalah bacaan segar dan paling menarik yang saya baca akhir-akhir ini. Kesan pertama saya saat melihatnya di toko buku terbukti sudah. Saya menikmati membaca buku ini. Bagi saya, ada hikmah yang bisa kita petik dari membaca buku ini – Kita perlu “PeDe” menjadi diri sendiri, tapi sekaligus bijak untuk tidak sembarangan menghakimi orang lain karena perbedaan pandangan dan cara hidupnya.

Bagaimanapun, kadang-kadang sungguh melelahkan jiwa-raga dan mental menghadapi kenyinyiran yang diarahkan pada kita dari orang-orang yang kita jumpai. Ibaratnya, apa yang kita lakukan bisa serba salah. Nah, buku ini menyarankan bahwa selama orang tdak melanggar norma hukum, agama atau moralitas kemanusiaan dalam arti luas, maka tentu kita bebas menjalani hidup penuh kebahagiaan.
****
Tampilan fisik buku ini apik. Saya suka dengan warna kertas, pilihan dan ukuran font, dan layout-nya (tata letak). Hanya saja saya kurang menyukai warna covernya yang terkesan “kurang WOW”. Menurut saya entah kenapa perpaduan komposisi warna dasar cover, ilustrasi dan warna yang dipakai dalam teks judul terkesan kurang keren atau solid. Mungkin ini masalah selera saya saja.
****
Akhirnya, saya bisa mengatakan kalau I’m (NOT) Perfect mengingatkan saya pada buku seri terkenal “Chicken Soup for the Soul” kompilasi pengarang terkenal Jack Canfield. Maka saya sangat merekomendasikan buku ini buat Anda, khususnya para perempuan — yang membutuhkan inspirasi, hiburan segar namun cerdas, dan menyentuh kedalaman jiwa & emosi kita. Buku ini tidak terlalu tebal, tapi cukup membuat saya tertawa, tercekat, merenung, dan tercerahkan – ini sesungguhnya mengungkapkan hal serius dan nyata. | @IndriaSalim

*) Postingan ini sebagai arsip artikel Penulis, yang sebelumnya diunggah di blog Kompasiana — di SINI.

[Resensi Buku] Jokowi (Bukan) untuk Presiden

:: Resensi Buku ::

Judul               : Jokowi (Bukan) untuk Presiden

No. ISBN        : 978-602-02-1948-6

Penulis             : 42 nama yang tergabung dalam blog Kompasiana

Penerbit           :  Elex Media Komputindo

Lead Editor     : Nurulloh

Assisten Editor: Dharma Adhivijaya

Kata Sambutan: Pepih Nugroho

Tanggal terbit :  September 2013

Jumlah Halaman:  336

Harga Buku Rp.56.800-

cover buku Jokowi Bukan Presiden (foto: pribadi)
cover buku Jokowi Bukan Presiden (foto: pribadi)

SINOPSIS – Jokowi (Bukan) untuk Presiden

Buku ini menyajikan 66 artikel mengenai Jokowi yang ditulis oleh 42 blogger dari berbagai latar belakang pendidikan, soiial, budaya, profesi, dan pandangan politiknya. Mereka menulis sebagai warga biasa, yang tergabung dalam minat yang sama: menulis di blog Kompasiana. Maka bisa dikatakan kalau buku Jokowi (Bukan untuk Presiden adalah sebuah antologi dari, oleh dan untuk Kompasianer dan pembaca umum.

Pepih Nugraha, Community Managing Editor Kompas.com dalam pengantarnya menyatakan bahwa inilah satu-satunya buku tentang Jokowi yang tidak ada kepentingannya, karena untuk menulis artikel-artikelnya di sini, penulis Kompasianer melakukannya atas inisiatif sendiri. Mereka itu warga biasa, bukan berlatar belakang sebagai penulis buku, analis, atau jurnalis profesional.

Karena buku ini lahir dari inisiatif spontan warga biasa,  mereka  memandang Jokowi lebih jujur dari sudut yang sangat beragam bahkan tidak terduga. Di dalam buku ini terungkap adanya harapan, kritik, dukungan, dan rasa penuh pengawalan  warga biasa atas sosok Jokowi di masa depan. Beberapa tulisan menyiratkan kepedulian agar sebisa mungkin sosok fenomenal ini tidak terjebak dalam pusaran kemelut dunia dan sistem politik di Indonesia.

Hal menarik dalam buku ini, menyuarakan dukungan warga tanpa mengenal ras dan suku. Ini tercermin dari tulisan berjudul #Jokowi: “Jangan Terjebak Euforia Kemenangan” oleh Annisa F Rangkuti  –

“Bagaimanapun, jalan menuju perubahan membutuhkan waktu dan proses yang tidak sesaat. Jangan berharap masalah kemacetan dan banjir yang selalu melanda Jakarta dapat selesai hanya dalam sekejap. (hal 53)

“Ah, diam-diam saya memimpikan ada satu lagi pemimpin seperti Jokowi untuk memimpin provinsi saya, Sumatra Utara.” (hal 54)

Tulisan yang menyiratkan harapan seorang warga, terungkap dalam “Jokowi, Motivator Gagal?” oleh Nino Histiraludin.

“Jokowi mampu menggerakkan, setidaknya rasa yakin atau optimism. Inilah titik dasar yang cukup penting bagi seorang pemimpin. ” (hal. 86)

Buku ini menyegarkan pikiran, ringan, dan penuh warna, karena setiap artikelnya tersaji dalam keringkasan halaman. Rata-rata satu artikel termuat dalam 3-5 halaman. Belum sempat bosan, pembaca sudah disajikan dengan pemikiran lain pada judul lainnya.

Ada ajakan untuk berpikir positip. Dan ini dinyatakan dengan tegas oleh penulisnya,

“Sudahlah. Hentikan pikiran negatif. Kenyataannya masih ada orang baik di negeri ini. Anggap saja yang baik itu baik, dan doakan yang baik itu menular. Biarkan kebaikan itu menginspirasi banyak orang.”

Beberapa artikel menyinggung tentang dugaan atau persepsi pencitraan dengan gaya blusukan Jokowi. Ini ditulis antara lain, dalam artikel “Jokowitainment dan Fenomena Sosok Media Darling” (Aulia Gurdi), “Jokowi, Pencitraan, End!” (Yodha Haryadi).

Bandingkan saja dengan fakta yang menjadi tren saat ini, di mana berita tentang tindakan tak patut dari para politisi dan pemegang kekuasaan sudah nyaris melampaui batas kepatutan mereka sebagai figur-figur yang ditokohkan, atau mendapat mandat menjadi abdi rakyat, pemimpin rakyat.

Sungguh menarik pencantuman judul bab berbunyi: “Jokowi Presiden”. Ini adalah bentuk optimisme atau harapan yang kuat. Seakan editor menginvestasikan harapan dan keyakinannya dalam kadar intensitas yang sangat tinggi.

Ternyata isi artikel pada Bab itu memang menyiratkan harapan yang besar agar Jokowi menjadi Presiden.

Namanya juga blogger. Saya sendiri juga blogger. Kompasianer itu beragam sekali latar belakang dan minat yang ditulisnya. Ada yang memang memanfaatkan platform Kompasiana menjadi sarana untuk menyuarakan misi tertentu, namun lebih banyak yang menyuarakan visi dan misi serta opini pribadi.

Sungguh menarik bahwa artikel-artikelnya dalam buku ini ditulis selama periode sejak sebelum Jokowi masih sebagai Walikota Solo, lalu masa pemilihan Gubernur DKI, kemudian sesudah terpilihnya Jokowi sebagai Gubernur DKI, dan yang terbaru dalam artikel itu adalah sekitar bulan April2013.  Saya beruntung membelinya pada hari peluncuran dan sekaligus bedah buku ini, yang diadakan pada tanggal 19 Oktober 2013.

Ada pembagian artikel dalam 6 bagian, yaitu: Rekam Jejak, Hiruk Pikuk Pilkada, Pro-Kontra, Gebrakan, Jokowi Presiden dan Tantangan. Ini memudahkan pembaca untuk memilih artikel yang paling menarik baginya. Dari semuanya itu, saya bisa menangkap sebuah ciri khas Jokowi sebagai tokoh fenomenal di zamannya: bahwa ia menjadi magnit bagi rakyat Indonesia, bahkan juga bagi mereka yang berbeda latar belakang suku, ras, dan lokasi keberadaannya (baca: tidak selalu mereka yang berada di wilayah DKI atau Pulau Jawa).

Kualitas cetak dan tampilan buku ini menarik. Saya suka kertasnya yang ringan, jadi meskipun buku ini tebal namun tidak berat ditenteng di tas. Warna kertasnya yang krem itu menyejukkan, dengan cetakan teks dan huruf yang nyaman buat mata yang membacanya. Ini selera, saya kurang cocok dengan pilihan jenisfont (huruf)-nya yang “tanpa kaki”, dan untungnya spasi antar kata cukup membuat mata beristirahat saat menelusuri larik-larik kalimat dalam buku ini.

Beberapa Tanda Tangan Penulis (foto: pribadi)
Beberapa Tanda Tangan Penulis (foto: pribadi)

Pada saat buku ini diterbitkan dan lalu diluncurkan, orang masih belum tahu apakah Jokowi bersedia dicalonkan menjadi Presiden. Sekarang, kita juga belum tahu setelah deklarasi pencalonannya sebagai Capres, apakah kelak Jokowi akan berhasil menduduki jabatan sebagai orang nomor 1 di negeri ini. Yang jelas, buku ini memuat dukungan, harapan, kritik baik langsung maupun tidak langsung, dan juga pemikiran yang sifatnya mengingatkan sang Gubernur DKI saat ini agar “tidak anti kritik”.

Beruntunglah keempat puluh dua warga Kompasiana yang sedikit banyak sudah berhasil menorehkan sekeping sejarah yang melengkapi proses dan pengawalan seorang sosok unik seperti Jokowi dalam kiprahnya meramaikan ajang pesta demokrasi di Indonesia.

Buku ini asyik, berguna, dan menambah wawasan, khususnya dalam melihat sosok Jokowi dari perspektif warga yang beragam. Salut buat penulis dan editor yang menghasilkan sajian bunga rampai dengan tulisan bergaya bahasa lugas, mengalir, dan ringan sehingga mudah dipahami oleh khalayak pada umumnya.

Akhir kata, buku ini layak direkomendasikan sebagai pengayaan wawasan kehidupan warga yang peduli bangsa, dengan cara dan sudut pandang khas warga biasa.

Sekian

Peresensi: Indria Salim

*Untuk disertakan dalam lomba #resensibukujokowi  (Terpilih sebagai salah satu peresensi terbaik)

*) Postingan ini sebagai arsip artikel Penulis, yang sebelumnya diunggah di blog Kompasiana — di SINI.html